Pak “Hajji” dan Bu “Hajjah”
Sepulang menunaikan ibadah haji seseorang mestinya mendapatkan lebih dari sekadar panggilan “Pak Haji” atau Bu Hajjah. Yang lebih utama, proses perjalanan tersebut harus menjadi madrasah atau pembelajaran dalam kehidupan sehari-hari sepulang dari Tanah Suci.
Hal tersebut disampaikan Pengasuh Pondok Pesantren Al Hikmah 1 Benda, Sirampog Brebes KH Labib Sodik Suhemi saat mengisi Silaturahmi Jamaah Haji Kabupaten Brebes, di Pendopo Bupati Brebes, Rabu (4/11).
Gelar haji yang diletakan di depan muka nama, sambungnya, sebetulnya adalah pengingat bahwa sang penyandang gelar seorang haji, sehingga bisa mengerem melakukan perbuatan maksiat. “Waduh, aku sudah haji. Masa mau mencuri? Aku sudah haji masa mau korupsi? Demikian mengiang terus dalam kondisi apapun dan di manapun selalu dikoreksi perbuatan yang menyimpang,” kata Kiai Labib.
(Sumber : http://www.nu.or.id/…/sebutan-haji-itu-pengingat-bukan-gela…)
Gelar “haji” tergolong cukup unik. Hanya di Indonesia saja kita menemukan fakta pemberian gelar semacam itu. Mengenai hal ini, arkeolog Islam Nusantara, Agus Sunyoto, menyatakan hal tersebut mulai muncul sejak tahun 1916.
"Kenapa dulu tidak ada Haji Diponegoro, Kiai Haji Mojo, padahal mereka sudah haji? Dulu kiai-kiai enggak ada gelar haji, wong itu ibadah kok. Sejarahnya (gelar “haji”, red) dimulai dari perlawanan umat Islam terhadap kolonial. Setiap ada pemberontakan selalu dipelopori guru thariqah, haji, ulama dari Pesantren, sudah, tiga itu yang jadi 'biang kerok' pemberontakan kompeni, sampai membuat kompeni kewalahan," beber Agus Sunyoto di Pesantren Ats-tsaqafah, Ciganjur, Jakarta. Jumat (24/9)
Penulis buku “Atlas Wali Songo” itu menambahkan, para kolonialis sampai kebingungan karena setiap ada warga pribumi pulang dari tanah suci Mekkah selalu terjadi pemberontakan. "Tidak ada pemberontakan yang tidak melibatkan haji, terutama kiai haji dari pesantren-pesantren itu," tegasnya.
Untuk memudahkan pengawasan, lanjut Wakil Ketua Pengurus Pusat Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) itu, pada tahun 1916 penjajah mengeluarkan keputusan Ordonansi Haji, yaitu setiap orang yang pulang dari haji wajib menggunakan gelar “haji”.
(Sumber : http://www.nu.or.id/…/asal-usul-gelar-ldquohajirdquo-di-ind…)
Lantas, bagaimana sikap fiqih terhadap sebutan tersebut?
Terkait hal tersebut sebenarnya di dalam Al-Qur`an Allah menyebut pelaku haji sebagai Al-Hajj, sebagaimana dalam firman-Nya :
{أَجَعَلْتُمْ سِقَايَةَ الْحَاجِّ وَعِمَارَةَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ كَمَنْ آمَنَ بِاللَّهِ} [التوبة: من الآية ١٩]
Artinya: “Apakah (orang-orang) yang memberi minuman Haji dan mengurus Masjidil haram kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah?”. (QS. Al-Taubah: 19).
Dan mengenai hal tersebut Dr. Abu Zaid, Bakr bin Abdillah mengatakan :
“Kalimat “Haji” pada ayat di atas maknanya adalah kelompok orang yang sedang melaksanakan amal haji. Sementara fenomena kata ini dijadikan sebagai gelar dalam Islam bagi orang yang telah melaksanakan ibadah haji, tidak pernah dikenal di masa generasi terbaik umat Islam”.
Selain hal tersebut, gelar haji itu masuk 'urf (tradisi di masyarakat) yang pernah disampaikan Al-Subki ketika membahas biografi Hassan bin Said al-Haji. Beliau mengatakan :
“Al-Haji ini merupakan Lughat 'Ajam (bahasa selain Arab), untuk mereka yang telah menunaikan ibadah haji. Mereka menyebut orang yang bernah berhaji ke Baitullah Al-Haram dengan Haji”.
Imam Al-Nawawi dalam kitabnya menjelaskan bahwa :
“Boleh menyebut orang yang pernah berangkat haji dengan gelar Haji, meskipun hajinya sudah bertahun-tahun, atau bahkan setelah dia wafat. Dan hal ini tidak makruh. Sementara yang disebutkan dalam riwayat Baihaqi dari Al-Qasim bin Abdurrahman, dari Ibnu Mas’ud, beliau mengatakan: “Janganlah kalian mengatakan ‘Saya Haji’ karena Haji adalah orang yang ihram.” Riwayat ini mauquf dan sanadnya terputus”.
Dengan demikian, menyebut Hajji dan Hajjah terhadap orang yang sudah menunaikan ibadah Haji itu boleh. Sedangkan penyebutan Hajji dan Hajjah terhadap orang yang belum atau tidak melakukan ibadah Haji, itu haram, karena demikian merupakan pembohongan status.
--------------------------------------------------------
Sepulang menunaikan ibadah haji seseorang mestinya mendapatkan lebih dari sekadar panggilan “Pak Haji” atau Bu Hajjah. Yang lebih utama, proses perjalanan tersebut harus menjadi madrasah atau pembelajaran dalam kehidupan sehari-hari sepulang dari Tanah Suci.
Hal tersebut disampaikan Pengasuh Pondok Pesantren Al Hikmah 1 Benda, Sirampog Brebes KH Labib Sodik Suhemi saat mengisi Silaturahmi Jamaah Haji Kabupaten Brebes, di Pendopo Bupati Brebes, Rabu (4/11).
Gelar haji yang diletakan di depan muka nama, sambungnya, sebetulnya adalah pengingat bahwa sang penyandang gelar seorang haji, sehingga bisa mengerem melakukan perbuatan maksiat. “Waduh, aku sudah haji. Masa mau mencuri? Aku sudah haji masa mau korupsi? Demikian mengiang terus dalam kondisi apapun dan di manapun selalu dikoreksi perbuatan yang menyimpang,” kata Kiai Labib.
(Sumber : http://www.nu.or.id/…/sebutan-haji-itu-pengingat-bukan-gela…)
Gelar “haji” tergolong cukup unik. Hanya di Indonesia saja kita menemukan fakta pemberian gelar semacam itu. Mengenai hal ini, arkeolog Islam Nusantara, Agus Sunyoto, menyatakan hal tersebut mulai muncul sejak tahun 1916.
"Kenapa dulu tidak ada Haji Diponegoro, Kiai Haji Mojo, padahal mereka sudah haji? Dulu kiai-kiai enggak ada gelar haji, wong itu ibadah kok. Sejarahnya (gelar “haji”, red) dimulai dari perlawanan umat Islam terhadap kolonial. Setiap ada pemberontakan selalu dipelopori guru thariqah, haji, ulama dari Pesantren, sudah, tiga itu yang jadi 'biang kerok' pemberontakan kompeni, sampai membuat kompeni kewalahan," beber Agus Sunyoto di Pesantren Ats-tsaqafah, Ciganjur, Jakarta. Jumat (24/9)
Penulis buku “Atlas Wali Songo” itu menambahkan, para kolonialis sampai kebingungan karena setiap ada warga pribumi pulang dari tanah suci Mekkah selalu terjadi pemberontakan. "Tidak ada pemberontakan yang tidak melibatkan haji, terutama kiai haji dari pesantren-pesantren itu," tegasnya.
Untuk memudahkan pengawasan, lanjut Wakil Ketua Pengurus Pusat Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) itu, pada tahun 1916 penjajah mengeluarkan keputusan Ordonansi Haji, yaitu setiap orang yang pulang dari haji wajib menggunakan gelar “haji”.
(Sumber : http://www.nu.or.id/…/asal-usul-gelar-ldquohajirdquo-di-ind…)
Lantas, bagaimana sikap fiqih terhadap sebutan tersebut?
Terkait hal tersebut sebenarnya di dalam Al-Qur`an Allah menyebut pelaku haji sebagai Al-Hajj, sebagaimana dalam firman-Nya :
{أَجَعَلْتُمْ سِقَايَةَ الْحَاجِّ وَعِمَارَةَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ كَمَنْ آمَنَ بِاللَّهِ} [التوبة: من الآية ١٩]
Artinya: “Apakah (orang-orang) yang memberi minuman Haji dan mengurus Masjidil haram kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah?”. (QS. Al-Taubah: 19).
Dan mengenai hal tersebut Dr. Abu Zaid, Bakr bin Abdillah mengatakan :
“Kalimat “Haji” pada ayat di atas maknanya adalah kelompok orang yang sedang melaksanakan amal haji. Sementara fenomena kata ini dijadikan sebagai gelar dalam Islam bagi orang yang telah melaksanakan ibadah haji, tidak pernah dikenal di masa generasi terbaik umat Islam”.
Selain hal tersebut, gelar haji itu masuk 'urf (tradisi di masyarakat) yang pernah disampaikan Al-Subki ketika membahas biografi Hassan bin Said al-Haji. Beliau mengatakan :
“Al-Haji ini merupakan Lughat 'Ajam (bahasa selain Arab), untuk mereka yang telah menunaikan ibadah haji. Mereka menyebut orang yang bernah berhaji ke Baitullah Al-Haram dengan Haji”.
Imam Al-Nawawi dalam kitabnya menjelaskan bahwa :
“Boleh menyebut orang yang pernah berangkat haji dengan gelar Haji, meskipun hajinya sudah bertahun-tahun, atau bahkan setelah dia wafat. Dan hal ini tidak makruh. Sementara yang disebutkan dalam riwayat Baihaqi dari Al-Qasim bin Abdurrahman, dari Ibnu Mas’ud, beliau mengatakan: “Janganlah kalian mengatakan ‘Saya Haji’ karena Haji adalah orang yang ihram.” Riwayat ini mauquf dan sanadnya terputus”.
Dengan demikian, menyebut Hajji dan Hajjah terhadap orang yang sudah menunaikan ibadah Haji itu boleh. Sedangkan penyebutan Hajji dan Hajjah terhadap orang yang belum atau tidak melakukan ibadah Haji, itu haram, karena demikian merupakan pembohongan status.
--------------------------------------------------------
معجم المناهي اللفظية ج ١ ص ٢١٩-٢٢٠ المكتبة الشاملة
قال الله تعالى: {أَجَعَلْتُمْ سِقَايَةَ الْحَاجِّ وَعِمَارَةَ
الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ كَمَنْ آمَنَ بِاللَّهِ} [التوبة: من الآية١٩]
وكلمة ((الحاج)) في الآية بمعنى جنسهم المتلبسين بأعمال الحج. وأما أن تكون
لقباً إسلامياً لكل من حج، فلا يعرف ذلك في خير القرون. إهـ
طبقات الشافعية الكبرى ج ٤ ص ٢٩٩ المكتبة الشاملة
وَأما الحاجي فلغة الْعَجم فِي النِّسْبَة إِلَى من حج يَقُولُونَ للْحَاج إِلَى بَيت الله الْحَرَام حاجي. إهـ
المجموع شرح المهذب ج ٨ ص ٢٨١ المكتبة الشاملة
(فَرْعٌ) يَجُوزُ أَنْ يُقَالَ لِمَنْ حَجَّ حَاجٌّ بَعْدَ تَحَلُّلِهِ
وَلَوْ بَعْدَ سِنِينَ وَبَعْدَ وَفَاتِهِ أَيْضًا وَلَا كَرَاهَةَ فِي
ذَلِكَ (وَأَمَّا) مَا رَوَاهُ الْبَيْهَقِيُّ عَنْ الْقَاسِمِ بْنِ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ (لَا يَقُولَنَّ أَحَدُكُمْ إنِّي
صَرُورَةٌ فَإِنَّ الْمُسْلِمَ لَيْسَ بِصَرُورَةٍ وَلَا يَقُولَنَّ
أَحَدُكُمْ إنِّي حَاجٌّ فَإِنَّ الْحَاجَّ هُوَ الْمُحْرِمُ) فَهُوَ
مَوْقُوفٌ مُنْقَطِعٌ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ.
وَالْمَسْأَلَةُ
تَتَخَرَّجُ عَلَى أَنَّ بَقَاءَ وَجْهِ الِاشْتِقَاقِ شرط لصدق المشتق منه
ام لَا وَفِيهِ خِلَافٌ مَشْهُورٌ لِلْأُصُولِيِّينَ (الْأَصَحُّ) أَنَّهُ
شَرْطٌ وَهُوَ مَذْهَبُ أَصْحَابِنَا فَلَا يُقَالُ لِمَنْ ضَرَبَ بَعْدَ
انْقِضَاءِ الضَّرْبِ ضَارِبٌ وَلَا لِمَنْ حَجَّ بَعْدَ انْقِضَائِهِ
حَاجٌّ إلَّا مَجَازًا (وَمِنْهُمْ) مَنْ يُقَالُ لَهُ ضَارِبٌ وَحَاجٌّ
حَقِيقَةً وَهَذَا الْخِلَافُ فِي أَنَّهُ حَقِيقَةٌ أَمْ مَجَازٌ كَمَا
ذَكَرْنَا (وَأَمَّا) جَوَازُ الْإِطْلَاقِ فَلَا خِلَافَ فِيهِ وَاَللَّهُ
أَعْلَمُ. إهـ
حاشية الشبراملسي على نهاية المحتاج إلى شرح المنهاج ج ٣ ص ٢٤٢ المكتبة الشاملة
[فَرْعٌ اسْتِطْرَادِيٌّ] وَقَعَ السُّؤَالُ عَمَّا يَقَعُ كَثِيرًا فِي
مُخَاطَبَاتِ النَّاسِ بَعْضِهِمْ لِبَعْضٍ مِنْ قَوْلِهِمْ لِمَنْ لَمْ
يَحُجَّ يَا حَاجَّ فُلَانٍ تَعْظِيمًا لَهُ هَلْ هُوَ حَرَامٌ أَوْ لَا؟
وَالْجَوَابُ عَنْهُ أَنَّ الظَّاهِرَ الْحُرْمَةُ لِأَنَّهُ كَذَبَ، إنَّ
مَعْنَى يَا حَاجُّ: يَامَنَ أَتَى بِالنُّسُكِ عَلَى الْوَجْهِ
الْمَخْصُوصِ. نَعَمْ إنْ أَرَادَ بِيَا حَاجُّ الْمَعْنَى اللُّغَوِيَّ
وَقَصَدَ بِهِ مَعْنًى صَحِيحًا، كَأَنْ أَرَادَ بِيَا حَاجُّ يَا قَاصِدَ
التَّوَجُّهِ إلَى كَذَا كَالْجَمَاعَةِ أَوْ غَيْرِهَا فَلَا حُرْمَةَ.
إهـ
فتاوى الشبكة الإسلامية ج ٩ ص ٨٤٤ المكتبة الشاملة
فتلقيب الإنسان بما يحب مستحب شرعاً، أما بما يكره فمعصية، قال النووي رحمه
الله تعالى في المجموع: اتفق العلماء على تحريم تلقيب الإنسان بما يكره
سواء كان صفة له أو لأبيه أو لأمه، واتفقوا على جواز ذكره بذلك على جهة
التعريف لمن لا يعرفه إلا بذلك، واتفقوا على استحباب اللقب الذي يحبه
صاحبه، فمن ذلك أبو بكر الصديق اسمه عبد الله بن عثمان ولقبه عتيق، ومن ذلك
أبو تراب لقب لعلي بن أبي طالب. انتهى.
ومن هذا يتبين جواز تلقيب من حج بالحاج إذا لم يخش منه عجب أو رياء. والله أعلم. إهـ
https://web.facebook.com/groups/MTTM1/permalink/2054488434764706/
Komentar
Posting Komentar
Harap berkomentar yang baik