Kirim bacaan al quran kepada ahli kubur,
sampai atau tidak ?? Bagaimana Pendapat para Ulama mengenai kirim
bacaan al Quran kepada ahli kubur?? itu pertanyaan yang paling pas.
Namun karena dipicu oleh sentimen dan
kebencian yang terlalu dalam, sehingga hal yang seharusnya tidak
bermasalah, disetting menjadi sesuatu yang seolah-olah besar. padahal
masih khilafiyyah.
Sampai atau Tidak Sampai, Bukan Boleh
atau Tidak Boleh Memang ada juga yang nyinyir, ketika membahas sampai
tidaknya pahala bacaan al-Qur’an perspektif Imam Syafi’i. Dengan
menyebutkan; “katanya ikut madzhab Syafi’i, tapi kenapa tak ikut Imam
as-Syafi’i (w. 204 H)?”
Agak susah sebenarnya melacak langsung
pernyataan Imam as-Syafi’i (w. 204 H), tentang bacaan al-Quran yang
dihadiahkan pahalanya kepada mayit itu muthlak tidak sampai, maksudnya
dengan keadaan apapun.
Biasanya kebanyakan mengambil dari
pernyataan Ibnu Katsir ad-Dimasyqi (w. 774 H) dalam tafsirnya; Tafsir
al-Quran al-Adzim, h. 7/ 465, serta pernyataan Imam an-Nawawi (w. 676
H), bahwa yang masyhur dari madzhab as-Syafi’i adalah tidak sampai.
فالمشهور من مذهب الشافعي وجماعة أنه لا يصل
Pendapat yang masyhur dari Madzhab
Syafi’i dan beberapa jamaah adalah tidak sampai (Pahala bacaan
al-Qur’an) (Yahya bin Syaraf an-Nawawi w. 676 H, al-Adzkar, h. 278).
Pernyataan Imam Syafi’i
Ada beberapa catatan terkait pernyataan
Imam as-Syafi’i (w. 204 H), yang sering dinukil oleh mereka yang
menyatakan tidak sampainya bacaan al Qur’an ini.
Pertama,
pernyataan tak sampainya bacaan al-Quran kepada mayyit dengan keadaan
apapun, dari Imam as-Syafi’i ini secara jelas susah dilacak, kalaupun
ada ini adalah pendapat yang masyhur dari madzhab as-Syafi’i.
Terlebih ini adalah pernyataan yang
sepotong. Apakah dalam semua keadaan, bacaan al-Qur’an kepada mayyit itu
tidak sampai, atau ada syarat khusus dan kriteria tertentu agar bisa
bermanfaat kepada mayyit.
Karena Imam as-Syafi’i (w. 204 H) pernah juga menyatakan sendiri dalam kitabnya al-Umm:
وأحب لو قرئ عند القبر، ودعي للميت
“Saya menyukai jika dibacakan al-Quran di kuburnya, dan juga didoakan.” (Imam Muhammad bin Idris as-Syafi’i w. 204 H, al-Umm, h. 1/ 322)
Hal ini diperkuat dengan pernyataan Imam an-Nawawi (w. 676 H):
قال الشافعي رحمه الله: ويستحب أن يقرأ عنده شيء من القرآن، وإن ختموا القرآن عنده كان حسنا
Imam as-Syafi’i (w. 204 H) mengatakan: Disunnahkan membaca al-Qur’an kepada mayit yang telah di kubur. Jika sampai khatam al-Qur’an, maka itu lebih baik. (Yahya bin Syaraf an-Nawawi w. 676 H, Riyadh as-Shalihin, h. 295)
Pertanyaannya?
Jika dikatakan menurut Imam as-Syafi’i (w. 204 H) muthlak tidak sampai dalam keadaan apapun, kenapa Imam as-Syafi’i (w. 204 H) malah menganjurkan mengkhatamkan al-Qur’an kepada mayit setelah di kuburkan? Atau dengan bahasa lain, Imam as-Syafi’i (w. 204 H) malah menganjurkan khataman al-Qur’an di kuburan.
Catatan penting:
Imam as-Syafi’i (w. 204 H) tak pernah menyatakan bahwa menghadiahkan pahala bacaan al-Quran kepada mayyit itu bid’ah yang sesat.
Imam as-Syafi’i (w. 204 H) juga tak pernah menyatakan bahwa membaca al-Quran di kuburan itu bid’ah.
Beda dengan yang mengaku mengikuti Imam as-Syafi’i (w. 204 H) dalam hal tak sampainya bacaan saja. Tetapi giliran menjelaskan hukum membaca al-Qur’an di kuburan, malah membid’ah-bid’ahkan.
Pernyataan Ulama madzhab Syafi’i
Syeikh Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin
Harun al-Khallal al-Baghdadi (w. 311 H) mempunyai kitab khusus terkait
membaca al-Quran di kuburan. Kitab itu berjudul: al-Qiraah Inda al-Qubur.
Beliau menukil pernyataan Imam as-Syafi’i (w. 204 H) dari Hasan bin
as-Shabbah az-Za’farani (w. 260 H); salah seorang murid Imam as-Syafi’i
(w. 204 H) dan guru dari sekian banyak Muhaddits, seperti Imam
al-Bukhari, Abu Daud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Huzaimah. (ad-Dzahabi
w. 748, Siyar A’lam an-Nubala’, h. 12/ 262).Disebutkan dalam kitab al-Qira’ah Inda al-Qubur:
أخبرني روح بن الفرج، قال: سمعت الحسن بن الصباح الزعفراني، يقول: سألت الشافعي عن القراءة عند القبر فقال: لا بأس به
al-Hasan bin as-Shabbah az-Za’farani (w. 260 H) bertanya kepada Imam as-Syafi’i tentang membaca al-Qur’an di kuburan. Beliau menjawab: Iya, tidak apa-apa (Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin Harun al-Khallal al-Baghdadi w. 311 H, al-Qiraah inda al-Qubur, h. 89)
Kedua, tentu
yang lebih paham tentang fiqih Syafi’i adalah para ulama asli madzhab
as-Syafi’I, bukan ulama dari non Syafi’iyyah pastinya. Karena sangat
rentan mutilasi pernyataan atau kesalahan dalam memahami perkataan.
Syaikh al-Islam Zakaria Al-Anshari
as-Syafi’i (w. 926 H) dan Ibnu Hajar Al-Haitami as-Syafi’i (w. 974 H),
sebagai ulama dalam madzhab as-Syafi’i menyimpulkan bahwa, maksud bacaan
al-Quran itu tidak sampai, jika tidak diniatkan atau tidak dibacakan di
hadapan si mayit. (lihat: Syaikh al-Islam Zakaria al-Anshori w. 926 H,
Fath al-Wahhab, h. 2/ 23, dan Ibnu Hajar Al-Haitami w. 974 H, Al-Fatawa
Al-Fiqhiyah Al-Kubro, 2/ 27).
Ketiga, ini
yang terpenting. Memang masalah ini menjadi perbedaan diantara para
ulama sejak dahulu. Hanya saja perbedaan mereka terkait, “Sampai atau
tidak”, bukan pada “Boleh atau tidak boleh” atau “Ada tuntunannya atau
tidak” atau “Rasulullah melakukannya atau tidak”.
Sebenarnya ikhtilaf ini bisa menjadi
mudah, jika masih dalam tataran sampai atau tidak sampai. Bagi yang
mengikuti ulama yang menyatakan sampai, ya silahkan dilanjutkan, yang
menyatakan tidak sampai ya, sudah tak usah mengamalkan. Simpel kan?
Pernyataan Ulama Hanbali
Jika memahami fiqih Syafi’i harusnya dari ulama Syafi’iyyah, tentu hal yang sama juga dalam memahami fiqih Hanbali.
Termasuk jika ada yang mengatakan,
“Katanya ikut madzhab Syafi’i, tapi kenapa tak ikut Imam as-Syafi’i (w.
204 H)?”, silahkan balas saja; “Katanya ikut madzhab Hanbali, tapi
kenapa tak ikut Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H)?”
Hampir semua ulama Madzhab Hanbali yang mu’tamad, menyatakan sampainya kiriman pahala bacaan al-Qur’an kepada mayyit, termasuk Surat al-Fatihah.
Mana dalilnya? Kalau mau tau, silahkan tanya ulama dibawah ini:Pernyataan Pendapat Imam Hanbali
Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H): Bacalah Surat al-Fatihah Saat ke KuburanAbu Bakar Al-Marrudzi al-Hanbali (w. 275 H); salah seorang murid terdekat Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) pernah mendengar sendiri Imam Ahmad berkata:
قال المروذي: سمعت أحمد يقول: إذا دخلتم
المقابر فاقرءوا بفاتحة الكتاب والمعوذتين، وقل هو الله أحد، واجعلوا ثواب
ذلك إلى أهل المقابر؛ فإنه يصل إليهم، وكانت هكذا عادة الأنصار في التردد
إلى موتاهم؛ يقرءون القرآن.
Saya (al-Marrudzi) pernah mendengar Imam Ahmad bin Hanbal berkata: Jika
kalian masuk ke kuburan, maka bacalah Surat al-Fatihah,
al-Muawwidzatain dan al-Ikhlas. Lantas jadikanlah pahala bacaan itu
untuk ahli kubur, maka hal itu akan sampai ke mereka. Dan inilah
kebiasaan kaum Anshar ketika datang ke orang-orang yang telah wafat,
mereka membaca al-Qur’an. (Mushtafa bin Saad al-Hanbali w. 1243 H, Mathalib Ulin Nuha, h. / 935)
Pelajaran dari Pernyataan diatas :
Pertama, Membaca Surat al-Fatihah kepada mayyit itu dianjurkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H).
Kedua, Membaca al-Qur’an di
kuburan itu bukan hal yang dilarang, bahkan ini perbuatan para kaum
Anshar. Paling tidak, ini menurut Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H).
Hal itu bisa kita temukan di kitab Mathalib Ulin Nuha,
karangan Mushtafa bin Saad al-Hanbali (w. 1243 H). Beliau seorang ulama
madzhab Hanbali kontemporer, seorang mufti madzhab Hanbali di Damaskus
sejak tahun 1212 H sampai wafat.
Kitab Mathalib Ulin Nuha itu sendiri adalah syarah atau penjelas dari kitab Ghayat al-Muntaha karya Syeikh Mar’i bin Yusuf al-Karmi (w. 1033 H). (Khairuddin az-Zirikly w. 1396 H, al-A’lam, h. 7/ 234)
Kitab Ghayat al-Muntaha karya Syeikh Mar’i bin Yusuf (w. 1033 H) ini juga banyak mengambil dari 2 kitab ulama Hanbali sebelumnya; al-Iqna’ li Thalib al-Intiqa’ karya Musa bin Ahmad Abu an-Naja al-Hajawi (w. 968 H) dan Muntaha al-Iradat karya Taqiyuddin Ibn an-Najjar al-Futuhi (w. 972 H).
Artinya Kitab Mathalib Ulin Nuha diatas, secara sanad keilmuan fiqih Hanbali, bisa dipertanggungjawabkan silsilah sanadnya.
Pernyataan Ibnu Taimiyyah
Syaikh Ibnu Taimiyah (w. 728 H): Yang Benar Adalah Semua Pahalanya Sampai, Bahkan Termasuk Shalat
Ibnu Taimiyyah al-Hanbali (w. 728 H)
memang disatu sisi menjadi panutan utama beberapa kalangan yang
membid’ahkan pengiriman pahala bacaan al-Qur’an.
Hanya dalam kaitan pengiriman pahala bacaan al-Qur’an ini, Fatwa Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) tak begitu dihiraukan.Syaikh Ibnu Taimiyah berkata di dalam kitab Majmu’ Al-Fatawa juz 24 halaman 367 :
وأما القراءة والصدقة وغيرهما من أعمال البر
فلا نزاع بين علماء السنة والجماعة في وصول ثواب العبادات المالية كالصدقة
والعتق كما يصل إليه أيضا الدعاء والاستغفار والصلاة عليه صلاة الجنازة
والدعاء عند قبره. وتنازعوا في وصول الأعمال البدنية: كالصوم والصلاة
والقراءة. والصواب أن الجميع يصل إليه
Adapun bacaan Al-Quran, shodaqoh
dan ibadah lainnya termasuk perbuatan yang baik dan tidak ada
pertentangan dikalangan ulama ahli sunnah wal jamaah bahwa sampainya
pahala ibadah maliyah seperti shodaqoh dan membebaskan budak.
Begitu juga dengan doa, istighfar, sholat dan doa di kuburan. Akan
tetapi para ulama berbeda pendapat tentang sampai atau tidaknya pahala
ibadah badaniyah seperti puasa, sholat dan bacaan. Pendapat yang benar
adalah semua amal ibadah itu sampai kepada mayit.
Ada yang menarik dari Fatwa Ibnu
Taimiyyah (w. 728 H) ini, beliau menyebut bahwa baik puasa, bacaan
al-Qur’an bahkan shalat sekalipun itu akan sampai pahalanya kepada
mayyit.
Pertanyaannya??
Kira-kira bagaimana teknisnya mengirim pahala shalat kepada mayyit, menurut fatwa Ibnu Taimiyyah ini ya?
Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah (w. 751 H):
Perkataan Bahwa Tak Ada Tuntunannya Dari Ulama Salaf, Itu Adalah
Perkataan Dari Orang Yang Tak Ada Ilmunya
Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah (w. 751 H) sebagai murid Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) bahkan menjelaskan panjang lebar masalah ini.
Jika ingin tahu dalilnya, baca saja kitab ar-Ruh. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (w. 751 H) menyebut:
وأي فرق بين وصول ثواب الصوم الذي هو مجرد
نية وإمساك بين وصول ثواب القراءة والذكر، والقائل أن أحدا من السلف لم
يفعل ذلك قائل مالا علم له به
Apa bedanya sampainya pahala puasa
dengan bacaan al-Qur’an dan dzikir. Orang yang mengatakan bahwa ulama
salaf (bukan salafi) tak pernah melakukan hal itu, berarti orang itu tak
ada ilmunya (Ibnu Qayyim al-Jauziyyah w. 751 H, ar-Ruh, h. 143)
Agak pedas memang pernyataan Ibnu Qayyim
al-Jauziyyah (w. 751 H) ini. Kata beliau, justru para salaf-lah yang
melakukan hal itu. Mereka yang mengatakan para salaf tak pernah
melakukannya, berarti perkataan itu muncul dari orang yang tak ada
ilmunya.
Pendapat Ibnu Quddamah
Ibnu Quddamah al-Hanbali (w. 620 H):
Kaum Muslimin di Tiap Waktu dan Tempat, Mereka Berkumpul Untuk
Menghadiahkan Bacaan al-Qur’an Untuk Mayit.
Ulama Hanbali yang lebih senior dari Ibnu Taimiyyah al-Hanbali (w. 728 H) adalah Ibnu Quddamah al-Hanbali (w. 620 H).
Dengan jelas beliau menyebut bahwa, di
tiap waktu dan di seluruh penjuru negeri, kaum muslimin berkumpul untuk
membaca al-Qur’an. Lantas pahala bacaan al-Qur’an itu mereka hadiahkan
kepada orang yang telah wafat, tanpa ada yang mengingkarinya. Dan itu
adalah ijma’ kaum muslimin.
ولنا، ما ذكرناه، وأنه إجماع المسلمين؛ فإنهم في كل عصر ومصر يجتمعون ويقرءون القرآن، ويهدون ثوابه إلى موتاهم من غير نكير
Ijma’ kaum muslimin menyatakan
bahwa di tiap waktu dan di seluruh penjuru negeri, kaum muslimin
berkumpul untuk membaca al-Qur’an. Lantas pahala bacaan al-Qur’an itu
mereka hadiahkan kepada orang yang telah wafat, tanpa ada yang
mengingkarinya. (Ibnu Quddamah al-Hanbali w. 620 H, al-Mughni, h. 2/ 423)
Tentu pernyataan yang serius jika hal ini telah menjadi ijma’ kaum
muslimin, dimana hampir semua zaman dan setiap tempat, para kaum
muslimin melaksanakannya.
Bahkan lebih dari itu, mereka
melakukannya dengan berkumpul berjamaah, bareng-bareng membaca al-Qur’an
untuk dikirimkan kepada mayyit, persis seperti yang ada di negeri kita
Indonesia ini.
Paling tidak, itulah yang dialami oleh
Ibnu Quddamah al-Maqdisi (w. 620 H) dan kaum muslimin di Damaskus,
sekitar 8 abad yang lalu di hampir seantero negeri saat itu. Sekali
lagi, penyebutan kata ijma’ ini keluar dari Imam Ibnu Quddamah
al-Hanbali (w. 620 H).
Pendapat Muhammad bin Shalih al-Utsaimin (w. 1421 H)
Dalam hal ini, Muhammad bin Shalih al-Utsaimin (w. 1421 H) lebih memilih bahwa bacaan al-Quran itu sampai dan boleh.
القول الثاني: أنه ينتفع بذلك وأنه يجوز
للإنسان أن يقرأ القرآن بنية أنه لفلان أو فلانة من المسلمين، سواء كان
قريبا أو غير قريب. والراجح: القول الثاني لأنه ورد في جنس العبادات جواز
صرفها للميت
Pendapat kedua, adalah mayyit
bisa mendapat manfaat dari apa yang dikerjakan orang yang masih hidup.
Hukumnya boleh, orang membaca al-Quran lantas berkata; “Saya niatkan
pahala ini untuk fulan atau fulanah. Baik orang itu kerabat atau bukan.
Ini adalah pendapat yang rajih. (Muhammad bin Shalih al-Utsaimin w. 1421 H, Majmu’ Fatawa wa Rasail, h. 7/ 159).
Kesimpulan
Demikian pendapat para ulama Hanbali,
termasuk Ibnu taimiyyah dan shalih utsaimin gembong para pengingkar
Tahlilan dan Ziarah Kubur, kesemuanya mengatakan “Pahala Bacaan al Qur’an sampai kepada mayyit baik dari kerabat atau bukan.”
Jika menganggap bahwa perbuatan
menghadiahkan pahala bacaan al-Qur’an itu bid’ah, itu sama artinya
menganggap Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) beserta ulama hanbali
lainnya menganjurkan kebid’ahan.
Jika menganggap ulama salaf tak pernah menghadiahkan pahala bacaan
al-Quran, sepertinya harus sekali-kali baca kitabnya Ibnu Qayyim
al-Jauziyyah (w. 751 H).
Jika menanggap bahwa berkumpul untuk
bersama-sama membaca al-Qur’an, lalu pahalanya dikirimkan kepada mayyit
hanya budaya Nusantara yang diwarisi dari Agama Hindu, sepertinya harus
benar-benar menyelami kitabnya Ibnu Quddamah (w. 620 H).
Mari Kita belajar lagi untuk menyelami luasnya samudra ilmu para
ulama! Dari situ kita ittiba’ Rasulullah shallaAllahu alaihi wa sallam.IKUTI ULAMA UNTUK MENGIKUTI NABI !!!
Wallahua’lam bisshawab.
sumber http://www.santripondok.com/2018/04/02/dalil-kirim-bacaan-al-quran/
Komentar
Posting Komentar
Harap berkomentar yang baik