Fi Sabilillah
Di masa Rasulullah SAW, asnaf ini adalah para peserta pertempuran
fisik melawan musuh-musuh Allah dalam rangka menegakkan agama Islam. Meskipun
mereka itu pada hakikatnya orang-orang yang cukup berada, menurut jumhur ulama.
Sebab dalam hal ini memang bukan sisi kemiskinannya yang dijadikan objek zakat,
melainkan apa yang dikerjakan oleh para mujahidin itu merupakan mashlahat umum.
Adapun para tentara yang sudah berada di dalam kesatuan, dimana
mereka sudah mendapatkan gaji tetap dari kesatuannya, tidak termasuk di dalam
kelompok penerima zakat.
Namun seorang peserta perang yang kaya, tidaklah berperang dengan
menggunakan harta yang wajib dizakati dari kekayaannya. Sebagai seorang yang
kaya, bila kekayaannya itu mewajibakan zakat, wajiblah atasnya mengeluarkan
harta zakat dan menyerahkannya kepada amil zakat. Adapun bila kemudian dia ikut
perang, dia berhak mendapatkan harta dari amil zakat karena ikut sertanya dalam
peperangan. Tapi tidak boleh langsung di-bypass. Dia harus bayar zakat dulu baru
kemudian menerima dana zakat.
Namun Abu Hanifah mengatakan bahwa seorang kaya yang ikut serta dalam
peperangan, maka dia tidak berhak menerima dana dari harta zakat.
Ikhtilaf Di Masa Sekarang
Di masa sekarang ini para ulama memang berbeda pendapat tentang makna
mustahiq zakat yang satu ini, yaitu fi sabilillah. Perbedaan ini berangkat dari
ijtihad mereka yang cenderung muwassain (meluaskan makna)dan mudhayyiqin
(menyempitkan makna).
Sebagian ulama beraliran mudhayyiqin bersikeras untuk tidak
memperluas maknanya, fi sabilillah harus diberikan tetap seperti yang dijalankan
di masa Rasulullah SAW dan para shahabat, yaitu untuk para mujahidin yang perang
secara fisik.
Dan sebagian ulama yang beraliran muwassa'in cenderung untuk
memperluas maknanya sampai untuk biaya dakwah dan kepentingan umat Islam secara
umum.
7.1. Pendapat Pertama
Jumhur ulama termasuk di dalamnya 4 imam mazhab (Hanafi, Maliki,
Syafi'i dan Hanbali) termasuk yang cenderung kepada pendapat yang pertama
(mudhayyiqin), mereka mengatakan bahwa yang termasuk fi sabilillah adalah para peserta pertempuran fisik melawan
musuh-musuh Allah dalam rangka menegakkan agama Islam.
Kesepakatan
keempat mazhab tentang
fi
sabilillah :
1.
Jihad
secara pasti termasuk dalam ruang lingkup fi
sabilillah.
2.
Disyariatkan
menyerahkan zakat kepada pribadi seorang mujahid,
berbeda dengan menyerahkan zakat untuk keperluan
jihad
dan persiapannya. Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan
mereka.
3. Tidak
diperbolehkan menyerahkan zakat demi kepentingan kebaikan dan kemaslahatan
bersama, seperti
mendirikan
dam, jembatan, masjid dan sekolah, memperbaiki jalan, mengurus mayat
dan lain-lain.
Biaya untuk urusan
ini
diserahkan pada kas baitul maal dari hasil pendapatan lain seperti harta fai,
pajak, upeti, dlsb.
Mereka yang termasuk ke dalam pendapat ini adalah Jumhur Ulama.
Dalilnya karena di zaman Rasulullah SAW memang bagian fi sabilillah tidak pernah
digunakan untuk membangun masjid atau madrasah. Di zaman itu hanya untuk mereka
yang jihad secara fisik saja.
Jumhur ulama ini mengatakan bahwa para mujahidin di medan tempur mereka berhak
menerima dana zakat, meskipun secara materi mereka cukup berada. Sebab dalam hal
ini memang bukan sisi kemiskinannya yang dijadikan objek zakat, melainkan apa
yang dikerjakan oleh para mujahidin itu merupakan mashlahat
umum.
Adapun para tentara yang sudah berada di dalam kesatuan, di mana
mereka sudah mendapatkan gaji tetap dari kesatuannya, tidak termasuk di dalam
kelompok penerima zakat.
Namun seorang peserta perang yang kaya, tidaklah berperang dengan
menggunakan harta yang wajib dizakati dari kekayaannya. Sebagai seorang yang
kaya, bila kekayaannya itu mewajibakan zakat, wajiblah atasnya mengeluarkan
harta zakat dan menyerahkannya kepada amil zakat.
Adapun bila kemudian dia ikut perang, dia berhak mendapatkan harta
dari amil zakat karena ikut sertanya dalam peperangan. Tapi tidak boleh langsung
di-bypass. Dia harus bayar zakat dulu baru kemudian menerima dana
zakat.
Namun Abu Hanifah mengatakan bahwa seorang kaya yang ikut serta dalam
peperangan, maka dia tidak berhak menerima dana dari harta
zakat.
7.2. Pendapat Kedua
Sedangkan para ulama yang lain cenderug meluaskan makna fi
sabilillah, tidak hanya terbatas pada peserta perang fisik, tetapi juga untuk
berbagai kepentingan dakwah yang lain.
Di antara yang mendukung pendapat ini adalah beberapa ulama lain
telah meluaskan arti sabilillah ini seperti : Imam Qaffal, Mazhab Ja'fari,
Mazhab Zaidi, Shadiq Hassan Khan, Ar Razi, Syeikh Syaltut, Syeikh Muhammad
Rasyid Ridha, Dr. Muhammad `Abdul Qadir Abu Faris dan Dr. Yusuf
Al-Qradawi.
Dasar pendapat mereka juga ijtihad yang sifatnya agak luas serta
bicara dalam konteks fiqih prioritas.
Di masa sekarang ini, lahan-lahan jihad fi sabilillah secara fisik
boleh dibilang tidak terlalu besar. Sementara tarbiyah dan pembinaan umat yang
selama ini terbengkalai perlu pasokan dana besar. Apalagi di negeri minoritas
muslim seperti di Amerika, Eropa dan Australia.
Siapa yang akan membiayai dakwah di negeri-negeri tersebut, kalau
bukan umat Islam. Dan bukankah pada hakikatnya perang atau pun dakwah di negeri
lawan punya tujuan yang sama, yaitu menyebarkan agama Allah SWT dan
menegakkannya.
Kalau yang dibutuhkan adalah jihad bersenjata, maka dana zakat itu
memang diperluakan untuk biaya jihad. Tapi kalau kesempatan berdakwah secara
damai di negeri itu terbuka lebar, bagaimana mungkin biaya zakat tidak boleh
digunakan. Bukankah tujuan jihad dan dakwah sama saja?
7.3. Dr. Yusuf Al-Qaradawi
Dalam kitab Fiqhuz Zakah, Dr. Yusuf al-Qaradawi menyebutkan bahwa
pendapat
yang dianggap kuat adalah bahwa tidak layak membuat makna fi sabilillah menjadi terlalu
umum. Karena
dengan begitu, keumuman
ini akan meluas
tanpa batas dan aspek-aspeknya akan menjadi banyak
sekali.
Dan
orang-orang yang akan menerima zakat lewat jalur fi sabilillah akan sangat
beragam, bila tidak diberi batasan yang pasti.
Kalau makna fi sabilillah dibuat menjadi sangat luas, maka
akan
meniadakan pengkhususan sasaran zakat delapan. Buat apa Allah SWT menyebutkan khusus asnaf fi sabilillah kalau
ternyata maksudnya bisa siapa saja asal berbau jalan
dakwah?
Al-Quran yang
sempurna dan mu'jiz pasti terhindar dari pengulangan yang tidak ada faedahnya.
karenanya pasti
yang
dimaksud disini adalah makna yang khusus, yang membedakannya dari
sasaran-sasaran lain.
Makna
yang khusus ini tiada lain adalah jihad, yaitu jihad untuk membela dan
menegakkan kalimat Islam
di
muka
bumi ini. Setiap jihad yang dimaksudkan untuk menegakkan kalimat allah termasuk
sabilillah,
bagaimanapun
keadaan dan bentuk jihad serta senjatanya.
Yusuf
Al-Qaradhawi
memperluas arti fi sabilillah ini
tidak hanya terbatas pada peperangan dan
pertempuran
fisik dengan
senjata saja, namun termasuk juga segala bentuk peperangan yang menggunakan akal
dan hati
dalam
membela dan mempertahankan aqidah Islam.
Karena itu mendirikan
sekolah berdasarkan faktor tertentu
adalah
perbuatan shaleh dan kesungguhan yang patut disyukuri dan sangat dianjurkan oleh
Islam, akan tetapi ia tidak
dimasukkan
dalam ruang lingkup fi sabilillah.
Mengapa?
Karena belum tentu sekolah itu mengandung misi dakwah dan menegakkan
kalimat Allah di dalam kurikulumnya secara langsung.
Namun
demikian, apabila ada suatu negara dimana pendidikan Islam merupakan
masalah
utama, dan yayasan pendidikan telah dikuasai kaum kapitalis, komunis, atheis
ataupun sekularis, maka jihad
yang
paling utama adalah mendirikan madrasah yang yang mengajarkan ilmu-ilmu keislaman yang murni,
dimana sekolah itu khusus mendidik
anak-anak
kaum
muslimin
menjadi pejuang yang menegakkan syariat Islam.
Madrasah itu juga punya misi memelihara generasi muslim
dari kehancuran ideologi
dan akhlaq, serta menjaganya dari
racun-racun
yang ditiupkan melalui kurikulum dan buku-buku, pada otak-otak pengajar dan ruh
masyarakat yang
disahkan
di sekolah-sekolah pendidikan secara keseluruhan.
Sebaliknya, menurut Al-Qaradawi,
tidak semua peperangan termasuk kategori fi sabilillah. Tidak termasuk fi sabilillah perang
yang tujuannya bukan semata-mata ingin menegakkan syariat Allah atau
membela
agama Allah. Seperti
halnya perang yang sekedar membela kesukuan, kebangsaan, kepentingan organisasi, partai politik tertentu atau
membela
kedudukan para politisi 'muslim, agar bisa naik ke puncak kekuasaan atau tetap
duduk di kursi jabatannya.
Maka untuk itu Dr. Yusuf Al-Qaradawi menyebutkan contoh bentuk jihad
non fisik yang bisa dilakukan, antara lain :
1. Membangun pusat-pusat dakwah (al-Markaz Al-Islami) yang menunjang
program dakwah Islam di wilayah minoritas, dan menyampaikan risalah Islam kepada
non muslim di berbagai benua merupakan jihad fi
sabilillah.
2. Membangun pusat-pusat dakwah (al-Markaz Al-Islami) di negeri Islam
sendiri yang membimbing para pemuda Islam kepada ajaran Islam yang benar serta
melindungi mereka dari pengaruh ateisme, kerancuan fikrah, penyelewengan akhlaq
serta menyiapkan mereka untuk menjadi pembela Islam dan melawan para musuh Islam
adalah jihad fi sabilillah.
3. Menerbitkan tulisan tentang Islam untuk mengantisipasi tulisan yang
menyerang Islam, atau menyebarkan tulisan yang bisa menjawab kebohongan para
penipu dan keraguan yang disuntikkan musuh Islam, serta mengajarkan agama Islam
kepada para pemeluknya adalah jihad fi sabilillah.
4. Membantu para da'i muslim yang menghadapi kekuatan yang memusuhi
Islam di mana kekuatan itu dibantu oleh para thaghut dan orang-orang murtad,
adalah jihad fi sabilillah.
5. Termasuk di antaranya untuk biaya pendidikan sekolah Islam yang akan
melahirkan para pembela Islam dan generasi Islam yang baik atau biaya pendidikan
seorang calon kader dakwah/ da`i yang akan diprintasikan hidupnya untuk berjuang
di jalan Allah melalui ilmunya adalah jihad fi sabilillah
Komentar
Posting Komentar
Harap berkomentar yang baik