Langsung ke konten utama

RAJAH ANTI RAYAP

 Rajah anti rayap


Ada dari mereka yang menganggap atau menuduh sebagai perbuatan syirik yakni menyeru atau meminta bantuan kepada selain Allah terhadap santri yang menuliskan rajah 


يا كبيكج احفظ الورق, 


Ya Kabikaj, ihfadzil waraq, jagalah kertas (ini) dan perubahan bentuk kata (derivasi) sehingga menjadi Akikanj (أكيكنج), Kanikaj (كنيكج), Kih (كيح), Kikah (كيكح), Bikikaj (بكيكج) dan lain-lain atau variasi turunannya seperti


بكيكج بكيكج بكيكج


Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memang  telah menubuatkan dalam sabdanya bahwa kelak akan bermunculan orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim yakni mereka yang gemar menuduh musyrik terhadap umat Islam yang berbeda pendapat dengan mereka.


Orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim adalah CONTOH orang-orang yang MENGASINGKAN DIRI atau MENYEMPAL KELUAR dari mayoritas kaum muslim (As-Sawadul A’zham) PADA ZAMAN Salafush Sholeh sehingga mereka disebut dengan khawarij. 


Asal kata khawarij adalah dari akar kata kha-ra-ja. Ia adalah bentuk jama’ dari kharij, yaitu isim fa’il dari kata kharaja yang memiliki arti keluar. 


Dzul Khuwaishirah tokoh penduduk Najed dari bani Tamim walaupun termasuk salaf / sahabat (bertemu dengan Rasulullah) namun tidak mendengarkan dan mengikuti Rasulullah melainkan mengikuti pemahaman atau akal pikirannya sendiri sehingga menjadikannya SOMBONG dan DURHAKA kepada Rasulullah yakni MERASA LEBIH PANDAI dari Rasulullah sehingga berani menyalahkan dan mencela atau menghardik Rasulullah. 


Abu Sa’id Al Khudriy radliallahu ‘anhu berkata; Ketika kami sedang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang sedang membagi-bagikan pembagian(harta), datang Dzul Khuwaishirah, seorang laki-laki dari Bani Tamim, lalu berkata; Wahai Rasulullah, tolong engkau berlaku adil. Maka beliau berkata: Celaka kamu!. Siapa yang bisa berbuat adil kalau aku saja tidak bisa berbuat adil. Sungguh kamu telah mengalami keburukan dan kerugian jika aku tidak berbuat adil. (HR Bukhari 3341) 


Jadi masuk akallah atau logislah kalau orang-orang pada ZAMAN NOW (masa sekarang) yang mendalami ilmu agama secara otodidak (shahafi) sehingga TERJERUMUS KESOMBONGAN dan menyalahkan, menganggap sesat atau bahkan mengkafirkan umat Islam karena “nenek moyang mereka” yakni Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim menyalahkan Rasulullah. 


Padahal orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim atau kaum khawarij adalah orang-orang yang sangat luar biasa ibadahnya. Baik shalatnya, puasanya, juga bacaan Al Qur'annya. 


Bahkan Rasulullah menyebut ibadah yang dilakukan para Sahabat tidak ada apa-apanya jika dibandingkan mereka. 


Namun ketika mereka BERHUJJAH dengan Al Qur’an, mereka KELIRU atau SALAH MEMAHAMINYA sehingga "Al Qur'an menjadi bencana" bagi mereka. 


Imam Sayyidina Ali karamallahu wajhu berkata, Sungguh, aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Akan muncul suatu kaum dari umatku yang pandai membaca Al Qur`an. Dimana, bacaan kalian tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan bacaan mereka. Demikian pula shalat kalian daripada shalat mereka. Juga puasa mereka dibandingkan dengan puasa kalian. Mereka membaca Al Qur`an dan mereka menyangka bahwa Al Qur`an itu adalah (hujjah) bagi mereka, namun ternyata Al Qur`an itu adalah (bencana) atas mereka. Shalat mereka tidak sampai melewati batas tenggorokan. Mereka keluar dari Islam sebagaimana anak panah meluncur dari busurnya. (HR Muslim 1773) 


"Al Qur'an menjadi BENCANA" bagi orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim yakni mereka BERHUJJAH dengan Al Qur’an dan menuduh umat Islam telah kafir namun karena mereka salah memahami Al Qur’an dan As Sunnah maka akan kembali kepada si penuduh sehingga terjerumus KAFIR TANPA SADAR. 


Dari Hudzaifah Radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan atas kamu adalah seseorang yang telah membaca al-Qur’an, sehingga ketika telah tampak kebagusannya terhadap al-Qur’an dan dia menjadi pembela Islam, dia terlepas dari al-Qur’an, membuangnya di belakang punggungnya, dan menyerang tetangganya dengan pedang dan menuduhnya musyrik”. Aku (Hudzaifah) bertanya, “Wahai nabi Allah, siapakah yang lebih pantas disebut musyrik, penuduh atau yang dituduh?”. Beliau menjawab, “Penuduhnya”. 


Al-Habib Abu Bakar al-Masyhur berwasiat kepada para pelajar (santri) di Hadhramaut, 


“Adapun bagi mereka yang menuduh bahwa kita adalah musyrikin, kita doakan semoga mereka mendapat hidayah dari Allah, itu saja cukup. Karena hanya hidayahlah yang dibutuhkan. Tiada gunanya memperdebatkan perbedaan dengan mereka kalau ujungnya adalah pertikaian”. 


Hanya hidayah dari Allah Azza wa Jalla yang dapat merubah perilaku atau akhlak mereka. 


Firman Allah ta’ala yang artinya, 


”Sekiranya kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya, niscaya tidak ada seorangpun dari kamu yang bersih (dari perbuatan keji dan mungkar) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa saja yang dikehendaki…” (QS An-Nuur [24] : 21) 


Tulisan 


يا كبيكج احفظ الورق, 


Ya Kabikaj, ihfadzil waraq, jagalah kertas (ini) memang sering ditemukan dalam manuskrip atau kitab-kitab dalam bahasa Arab 


Dalam artikel yang ditulis oleh Dr Yusef Zidan, Direktur Perpustakaan Iskandariyah menyatakan sebagai berikut 


****** awal kutipan *****

di masa lalu para pembuat kitab melakukan proses treatment terhadap kertas seperti teknik penguapan dengan menggunakan tanaman Kabikaj untuk menjaga naskah dari serangga, seperti rayap, ngengat dan lain-lain 


Untuk membedakan naskah yang sudah "diuapkan" dengan kabikaj, tertulis di sampulnya kalimat 


يا كبيكج احفظ الورق, 


Sebagai tanda bagi pembeli atau kolektor naskah, bahwasanya kertas tersebut sudah di-treatment/sudah diuapi dengan jenis tanaman ini.

****** akhir kutipan ****** 


Sumber : https://insantri.com/santri-harus-tahu-asal-usul-rajah-anti-rayap-kabikaj- 


Dari link tulisan tersebut, Ibrohim al Yahya salah satu karyawan perpustakaan al Malik Abdul Aziz yang bertugas dalam bidang pengindeksan manuskrip melakukan penelusuran buku-buku di kabinet manuskrip di Perpustakaan Umum Raja Abdulaziz terutama buku-buku Hanafi ternyata teknik penguapan ditemukan pada buku-buku dari India, Sindh dan Persia, beberapa Turki dan sangat sedikit dari Mesir dan Yaman dan jarang dari negara-negara Maroko. 


Kesimpulannya, memang ada manuskrip atau kitab-kitab melalui treatment penguapan namun ada pula sekedar menggunakan stempel "Kabikaj" hanya untuk menaikan harga naskah dan mempromosikan sebagai kitab yang awet dan anti rayap. 


Hal yang menarik dikemudian hari tulisan Kabikaj dengan berbagai variasi turunannya digunakan sebagai rajah anti rayap. 


Para fuqaha (ahli fiqih) berpendapat tidak ada masalah menuliskan rajah selama berkeyakinan bahwa bukan rajah yang mendatangkan manfaat atau menolak bahaya namun Allah Ta'ala semata yang mendatangkan manfaat dan menolak bahaya. 


Diriwayatkan dari Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Laila dari Isa saudaranya, ia berkata; 


دخلت على عبد الله بن عكيم أبي معبد الجهني أعوده وبه حمرة فقلنا: ألا تعلق شيئًا؟ قال: الموت أقرب من ذلك، قال النبي صلى الله عليه وآله وسلم: مَنْ تَعَلَّقَ شَيْئًا وُكِلَ إِلَيْهِ 


“Aku datang kepada Abdullah bin Akim Abi Ma’bad al-Jahni menjenguknya yangs sedang sakit panas, maka kami katakan padanya, “ Tidakkah kamu menggantungkan sesuatu saja ? “, ia menjawab, “ kematian lebih dekat dari itu “. Maka Nabi shallallahu ‘alaihiw wa sallam bersabda, “ Barangsiapa yang menggantungkan sesuatu, maka diwakilkan padanya “. (HR. Ahmad, al-Hakim danTurmudzi) 


Al Imam al-Qurthubi mengomentari maksud perkataan Nabi tersebut : 


فمن علَّق القرآن ينبغي أن يتولاه الله ولا يَكِله إلى غيره؛ لأنه تعالى هو المرغوب إليه والمتوكل عليه في الاستشفاء بالقرآن 


“Maka siapa yang menggantungkan al-Quran sebaiknya ia menjadikan Allah sebagian wakilnya dan tidak mewakilkan kepada selain-Nya, karena Allah Ta’ala lah yang menjadi harapan dan tempat sandaran di dalam berobat dengan al-Quran “. (lihat al-Jami’ liahkam al-Quran, al-Qurthubi : 10/320)


Jadi artinya beliau membolehkan menggantungkan jimat yang terdiri dari ayat al-Quran asalkan tetap bersandar kepada Allah. 


Diriwayatkan juga dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : 


إِذَا فَزِعَ أَحَدُكُمْ فِي النَّوْمِ فَلْيَقُلْ أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّةِ مِنْ غَضَبِهِ وَعِقَابِهِ وَشَرِّ عِبَادِهِ وَمِنْ هَمَزَاتِ الشَّيَاطِينِ وَأَنْ يَحْضُرُونِ؛ فَإِنَّهَا لَنْ تَضُرَّهُ 


“Jika seorang diantara kalian merasa takut di dalam tidurnya, maka ucapkanlah : 


أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّةِ مِنْ غَضَبِهِ وَعِقَابِهِ وَشَرِّ عِبَادِهِ وَمِنْ هَمَزَاتِ الشَّيَاطِينِ وَأَنْ يَحْضُرُونِ 


Maka gangguan-gangguan setan tidak akan membahayakannya “. Ia berkata; “ Dahulu Abdullah bin ‘Amr Radhiallahu ‘anhuma mengajarkannya kepada anaknya yang sudah baligh dan menulisnya untuk yang belum baligh di sebuah lembaran lalu digantungkan di lehernya “. (HR. Abu Daud dan Turmudzi) 


Dalam kitab hadits Mushannaf Ibnu Abi Syaibah : 


أن سعيد بن المسيب سئل عن التعويذ فقال: "لا بأس إذا كان في أديم"،

وعن عطاء قال: "لا بأس أن يعلق القرآن"، وكان مجاهد يكتب للناس التعويذ فيعلقه عليهم، وعن الضحاك أنه لم يكن يرى بأسًا أن يعلق الرجل الشيء من كتاب الله إذا وضعه عند الغسل وعند الغائط، ورخَّص أبو جعفر محمد بن علي في التعويذ بأن يُعلق على الصبيان، وكان ابن سيرين لا يرى بأسًا بالشيء من القرآن. 


“Bahwasanya Sa'id bin Musayyib ditanya tentang ta’widz (sesuati yang dijadikan perlindungan), maka beliau menjawab; “ tidak mengapa jika (ditulis) pada kulit “. Dari Atha’ ia berkata, “ tidak mengapa menggantunkan (jimat) yang terdiri dari ayat al-Quran “. Dahulu Mujahid menulis ta’widz untuk orang-orang lalu menjadikannya gantungan leher pada mereka “. Dari Ad-Dhahhak ia berpendapat,” bahwasanya tidaklah mengapa sesorang membuat jimat gantungan dari kitab Allah apabila diletakkan ketika hendak mandi atau buang air besar “. Abu Jakfar Muhammad bin Ali membolehkan jimat gantungan pada anak kecil. Ibnu Sirin juga bependapat tidaklah mengapa membuat jimat dengan al-Quran “. (lihat Mushannaf Ibnu Abi Syaibah; 5/43-44) 


Dari riwayat-riwayat hadits ini sangat jelas, membolehkan menggantungkan jimat yang terdiri dari ayat al-Quran atau dzikir ataupun doa yang baik. Dan menjadi pengecualian dari jimat. Artinya ada jimat yang dilarang dan ada jimat yang diperbolehkan bahkan digantungkan pada leher hukumnya juga boleh. 


Mayoritas ulamapun memperbolehkannya. Dalam kitab Kifayah ath-Thalib ar-Rabbani disebutkan : 


(ولا بأس بالمُعاذة) وهي التمائم -والتمائم الحروز- التي (تعلق) في العنق (وفيها القرآن) وسواء في ذلك المريض، والصحيح، والجنب، والحائض، والنفساء، والبهائم بعد جعلها فيما يكنها]. اهـ، ففُهم من ذلك أن ما كان من القرآن جائز إذا جُعل في شيء يحفظه. 


“Tidaklah mengapa dengan jimat yang digantungkan di leher dan di dalamnya berisi ayat al-Quran, baik diperuntukkan untuk yang sakit, sehat, junub, haid, nifas ataupun binatang setelah dibungkus sebagai pengamannya “. (lihat Kifayah ath-Tahlib ar-Rabbani ‘ala Risalah Ibn Abi Zaid al-Qairawani : 2/492. Cetakan Dar al-Fikr) 


Bisa kita pahami bahwa jimat yang berisi ayat al-Quran hukumnya boleh jika dibungkus dengan sesuatu yang menjaganya. 


Al Imam Malik mengatakan : 


لا بأس بتعليق الكتب التي فيها أسماء الله عز وجل على أعناق المرضى على وجه التبرك 


“Tidaklah mengapa menggantungkan tulisan yang berisi asma Allah Ta’ala di leher-leher orang yang sakit atas dasar tabarruk (ngalap berkah) “. (lihat al-Jami’ liahkam al-Quran, al-Qurthubi : 10/319) 


Am Imam an Nawawi mengutip  Al Imam al-Baihaqi sebagai berikut : 


ان النهي راجع إلى معنى ما قال أبو عبيد- أي: ما كان بغير العربية بما لا يدري ما هو- ثم قال -أي البيهقي-: وقد يحتمل أن يكون ذلك وما أشبهه من النهي والكراهة فيمن يعلقها وهو يرى تـمام العافية وزوال العلة بـها على ما كانت عليه الجاهلية، أما من يعلقها متبركًا بذكر الله تعالى فيها وهو يعلم أن لا كاشف له إلا الله ولا دافع عنه سواه، فلا بأس بـها إن شاء الله تعالى 


“Sesungguhnya dalam hadits itu yang dilarang adalah kembali pada apa yang dikatakan oleh Abu Ubaid, “ yang dilarang adalah yang selain bahasa Arab yang tidak dapat dipahami maknanya “, kemudian imam Baihaqi mengatakan, “ Terkadang dimungkinkan sifat yang terlarang dan makruh adalah bagi orang yang menggantungkannya dan berpandangan akan mendapat kesempurnaan afiat dan hilangnya penyakit dengan jimat tersebut yang juga diasumsikan konon pada masa jahiliyyah. Adapun orang yang menggantungkannya dengan niat ngalap berkah dengan dzikir Allah Ta’ala di dalamnya dan dia mengetahui bahwa tidak ada yang mampu menyingkap penyakit kecuali Allah, dan tidak ada yang dapat menolak bahaya kecuali Allah, maka tidaklah mengapa yang demikian itu insya Allah “. (al-Majmu’, Al Imam an Nawawi : 9/66. Cetakan Dar al-Fikr) 


Timbul pertanyaan bukankah rajah 


يا كبيكج احفظ الورق,


Ya Kabikaj, ihfadzil waraq, jagalah kertas (ini) maupun variasi turunannya seperti


بكيكج بكيكج بكيكج


bukanlah berasal dari ayat Al Qur'an  


Jadi kemungkinannya rajah 


يا كبيكج احفظ الورق, 


Ya Kabikaj, ihfadzil waraq, jagalah kertas (ini) 


Adalah berdoa kepada Allah Ta'ala diawali bertawasul dengan amal kebaikan yakni ungkapan rasa cinta kepada kitab tersebut dengan menyebut nama tanaman kabikaj agar Allah Ta'ala menjaga kitab tersebut dari serangga, seperti rayap, ngengat dan lain-lain. 


Contoh lain melindungi kayu rumah dari rayap adalah bertawassul dengan menuliskan 7 nama fuqaha (ahli fiqih) Madinah yang tersohor dan tentu yang dicintai pula sebagaimana kabar pada https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=3174243362679507&id=100002816234640 


****** awal kutipan ******

Guru mulia al Allamah syeikh Abdul Aziz Asyihawi menceritakan akan kejadian yang Beliau alami sewaktu beliau masih muda, dimana terdapat banyak tumpukan gabah padi di dalam rumahnya, karena ayah beliau merupakan seorang petani padi. 


Hingga suatu saat beliau mendapati sebagian rumahnya yang terbuat dari kayu menempel dengan gabah dan dimakan oleh segerombolan rayap,  kemudian beliau bertawassul dengan menuliskan 7 nama fuqaha Madinah yang tersohor yang mana fatwa kala itu dibawah kuasa beliau tujuh setelah zaman Sahabat, dan atas izin Allah pergilah rayap rayap itu. Dan dikumpulkan dalam bait yang terkenal yaitu : 


ألا كل من لا يقتدي بأئمة *** فقسمته ضيزى عن الحق خارجة 


فخذهم عبيد الله عروة قاسم *** سعيد أبو بكر سليمان خارجة 


Dan dalam bait lain : 


إذا قيل من في العلم سبعة أبحر * * * روايتهم عن العلم ليست خارجة

فقل هم عبيدالله عروة قاسـم * * * سعيد أبو بكر سليمان خـارجة 


Tujuh nama fuqaha itu adalah : 


1. Sayiduna Ubaidulloh bin Abdulloh bin Utbah bin Mas'ud

2. Sayiiduna Urwah bin Zubair

3. Sayiduna Al Qosim bin Muhammad bin Abu Bakr Ashiddiq

4. Sayiduna Said bin Musayyib

5. Sayiduna Sulaiman bin Yasar

6. Sayiduna Khorijah bin Zaid bin Tsabit al Anshari

7. Adapun yang ke tujuh ada beberapa perbedaan nama yang terjadi, akan tetapi beliau lebih kepada Sayiduna Salim bin Abdullah bin Umar bin Khatab. 


Dawuh beliau, selain menuliskan lafadz yang terkenal di kalangan santri nusantara yaitu : ياكبيكج، احفظ الورق (ya Kabikaj, ihfadzil waraq), menulis tujuh nama ini di kertas kemudian menempelkannya di dinding/kayu untuk menjaga kayu dari rayap, ataupun untuk menjaga perpustakaan buku agar tidak dimakan rayap merupakan tawasul yang ampuh atas izin Allah Ta'ala.

****** akhir kutipan ****** 


Syeikh Abdul Aziz Asyihawi. Beliau adalah gurunya para guru Madzhab Syafi’i di Mesir dan merupakan ahli Qira’at. Beliau belajar langsung kepada pamannya beberapa disiplin Ilmu khususnya dalam fikih yang bersanad langsung kepada Imam Syarqawi dan Imam Syafi’i. 


Begitupula pada hakikatnya berdoa kepada Allah diawali bertawassul dengan Rasulullah maupun para kekasih Allah (Wali Allah) yang telah wafat ADALAH termasuk BERTAWASUL dengan AMAL KEBAIKAN yakni rasa cinta kepada Rasulullah maupun para kekasih Allah (Wali Allah) yang diwujudkan dengan ucapan salam atau dengan syair ungkapan kecintaan kepada yang dicintainya.  


Prof. DR. Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki Al-Hasani atau yang biasa dipanggil Abuya menjelaskan 


***** awal kutipan ******

Ketahuilah bahwa orang yang bertawassul dengan siapa pun itu karena ia mencintai orang yang dijadikan tawassul tersebut karena ia meyakini keshalihan, kewalian dan keutamaannya, sebagai bentuk prasangka baik terhadapnya atau karena ia meyakini bahwa orang yang dijadikan tawassul itu mencintai Allah Subhanahu wa Ta'ala, yang berjihad di jalan Allah atau karena ia meyakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala mencintai orang yang dijadikan tawassul. 


Orang yang bertawassul itu seolah-olah berkata, “Ya Tuhanku, saya mencintai fulan dan saya meyakini bahwa ia mencintai-Mu. Ia orang yang ikhlas kepadaMu dan berjihad di jalanMu. Saya meyakini Engkau mencintainya dan Engkau ridlo terhadapnya. Maka saya bertawassul kepadaMu dengan rasa cintaku kepadanya dan dengan keyakinanku padanya, agar Engkau melakukan seperti ini dan itu. 


Namun mayoritas kaum muslimin tidak pernah menyatakan ungkapan ini dan merasa cukup dengan kemaha-tahuan Dzat yang tidak samar baginya hal yang samar, baik di bumi maupun langit. Dzat yang mengetahui mata yang berkhianat dan isi hati yang tersimpan. 


Orang yang berkata : “Ya Allah, saya bertawassul kepada-Mu dengan Nabi-Mu, itu sama dengan orang yang mengatakan : Ya Allah, saya bertawassul kepada-Mu dengan rasa cintaku kepada Nabi-Mu. Karena orang yang pertama tidak akan berkata demikian kecuali karena rasa cinta dan kepercayaannya kepada Nabi. Seandainya rasa cinta dan kepercayaan kepada Nabi ini tidak ada maka ia tidak akan bertawassul dengan Nabi. Demikian pula yang terjadi pada selain Nabi dari para wali.

****** akhir kutipan ****** 


Contoh berdoa kepada Allah meminta kesembuhan, bertawassul dengan menyebut nama orang yang kita cintai dan diyakini dicintai oleh Allah pula 


Dari Al Haitsam ibn Khanas, ia berkata, “Saya berada bersama Abdullah Ibn Umar. Lalu kaki Abdullah mengalami kram. “Sebutlah orang yang paling kamu cintai !”, saran seorang lelaki kepadanya. “Yaa Muhammad,” ucap Abdullah. Maka seolah-olah ia terlepas dari ikatan. 


Dari Mujahid, ia berkata, “Seorang lelaki yang berada dekat Ibnu Abbas mengalami kram pada kakinya. “Sebutkan nama orang yang paling kamu cintai,” kata Ibnu Abbas kepadanya. Lalu lelaki itu menyebut nama Muhammad dan akhirnya hilanglah rasa sakit akibat kram pada kakinya. 


Jadi menyebut nama seseorang yang dicintai oleh Allah Ta'ala atau kekasih Allah (wali Allah) ketika berdoa kepada Allah Ta'ala termasuk tawasul dengan amal kebaikan. 


Hadits riwayat Imam Dailami : 


ذكر الأنبياء من العبادة وذكر الصالحين كفارة، وذكر الموت صدقة، وذكر القبر يقربكم إلى الجنة. [رواه الديلمي] اهـ الجامع الصغير : 158 


Artinya : 


“Menyebut-nyebut para Nabi itu termasuk ibadah, menyebut-nyebut para shalihin itu bisa menghapus dosa, mengingat kematian itu pahalanya seperti bersedekah dan mengingat alam kubur itu bisa mendekatkan kamu dari surga”. (HR. Dailami) 


Contoh lainnya dalam kitab tafsir Ibnu Katsir ketika menafsirkan (QS An-Nisa [4]: 64) termuat contoh seseorang mendatangi Rasulullah untuk minta ampun dosa kepada Allah Ta'ala di sisi Rasulullah dan Beliau minta ampun dosa umatnya. 


Dalam kisah tersebut dicontohkan berdoa kepada Allah Ta'ala di sisi Rasulullah diawali TAWASUL dengan AMAL KEBAIKAN yakni mengucapkan salam dan syair atau ungkapan kecintaan kepada Rasulullah seperti, 


***** awal kutipan *****

“Assalamu’alaika, ya Rasulullah (semoga kesejahteraan terlimpahkan kepadamu, wahai Rasulullah). 


Aku telah mendengar Allah Ta’ala berfirman yang artinya, ‘Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka menjumpai Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang‘ (QS An-Nisa [4]: 64), 


Sekarang aku datang kepadamu, memohon ampun bagi dosa-dosaku (kepada Allah) dan meminta syafaat kepadamu (agar engkau memohonkan ampunan bagiku) kepada Tuhanku.” 


Kemudian lelaki Badui tersebut mengucapkan syair berikut , yaitu: “Hai sebaik-baik orang yang dikebumikan di lembah ini lagi paling agung, maka menjadi harumlah dari pancaran keharumannya semua lembah dan pegunungan ini. Diriku sebagai tebusan kubur yang engkau menjadi penghuninya; di dalamnya terdapat kehormatan, kedermawanan, dan kemuliaan.“ 


Kemudian lelaki Badui itu pergi, dan dengan serta-merta mataku terasa mengantuk sekali hingga tertidur. Dalam tidurku itu aku bermimpi bersua dengan Nabi shallallahu alaihi wasallam., lalu Beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Hai Atabi, susullah orang Badui itu dan sampaikanlah berita gembira kepadanya bahwa Allah telah memberikan ampunan kepadanya!”

***** akhir kutipan ***** 


Kutipan di atas bersumber dari terbitan Sinar Baru Algensindo, th 2000, juz 5, hal 283-284 https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2011/09/ikjuz5p281_285.pdf 


Namun ada pihak yang menghilangkan kisah bertawasul ke makam Rasulullah ketika menerbitkan ulang kitab tafsir Ibnu Katsir karena mereka menganggap hal itu bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits. 


Begitupula ada upaya pemalsuan kitab Al Adzkar karya Al Imam Al Hafizh An Nawawi yakni sebagian isinya dihilangkan dan sebagian lainnya diganti. 


Isi yang dihilangkan adalah mengisahkan tentang seorang badui yang mendatangi makam Rasulullah untuk minta ampun. Dan dalam mimpinya beliau berjumpa dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang mengabarkan bahwa Allah telah mengampuni badui tersebut. 


Kabar upaya pemalsuan kitab Al Adzkar disampaikan langsung oleh pentahqiq kitab tersebut yakni Syeikh Abdul Qadir Al Arnauth sebagaimana yang dikabarkan pada http://kitabkita.blogspot.co.id/2010/09/tentang-pemalsuan-al-adzkar.html


Berikut kutipan pengakuannya


***** awal kutipan *****

“Sesungguhnya kitab yang berada di tangan kita (Al Adzkar) Imam An Nawawi Rahimahullah telah dicetak dengan tahqiq saya di penerbitan Al Mallah Damaskus tahun 1391 H, bertepatan tahun 1971 H. Kemudian saya mentahqiqnya kembali, dan yang menerbitkannya adalah Dar Al Huda Riyadh, Al Ustadz Ahmad An Nuhas.


Ia telah mengajukannya kepada Idarah Al Ammah li Syu’un Al Masahif wa Muraqabah Al Mathbu’at (Bagian Administrasi Umum untuk Urusan Mashaf-mushaf dan Buku-buku) yang berada di bawah Al Buhuts Al Ilmiyah wa Ad Dakwah wa Al Irsyad Riyadh (Badan Penelitian Ilmiyah, Dakwah dan Penyuluhan Riyadh).”


Setelah itu Syeikh Abdul Qadir menyebutkan bahwa seorang asatidz menemukan adanya penghilangan dan penggantian kalimat penulis, sebagaimana yang diterangkan di atas. Lalu beliau menulis,


“Dan perbuatan yang menimpa kitab ini bukan dari saya. Saya hamba yang faqir dan bukan dari pemilik Dar Al Huda, Al Ustadz Ahmad An Nuhas.


Namun dari Hai’ah Al Muraqabah Al Muthbu’at (Badan Pengawasan Buku-buku).


Pemilik Dar Al Huda dan muhaqqiq kitab tidak bertanggung jawab tentang hal ini. Yang bertanggung jawab atas hal ini adalah Hai’ah Muraqabah Al Mathbu’at.”


Beliau kemudian mengatakan, “Tidak diragukan lagi, bahwa mengubah tulisan para penulis tidak diperbolehkan. Ini adalah amanah ilmiah. Muhaqqiq atau mudaqqiq membiarkannya apa adanya…”

***** akhir kutipan *****


Sebagai bukti otentik penulis blog tersebut menyertakan hasil scan pernyataan Syeikh Abdul Qadir tersebut.


https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2016/06/pernyataan-syeikh-abdul-qadir-al-arnauth-hal-377.jpg

https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2016/06/pernyataan-syeikh-abdul-qadir-al-arnauth-hal-378.jpg

https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2016/06/pernyataan-syeikh-abdul-qadir-al-arnauth-hal-379.jpg


Mereka yang "menghilangkan" contoh bertawasul dengan Rasulullah atau  mengingkari firman Allah Ta'ala dalam (QS An-Nisa [4]: 64) sebagai dalil  bertawasul dengan Rasulullah maupun para wali Allah lainnya berpendapat bahwa  firman Allah Ta'ala tersebut hanya berlaku ketika Rasulullah masih hidup. 


Berikut kutipan penjelasan Prof, DR Ali Jum’ah tentang (QS An-Nisa [4]: 64) dalam kitab berjudul ”Al Mutasyaddidun, manhajuhum wa munaqasyatu ahammi qadlayahum” telah diterbitkan kitab terjemahannya dengan judul ” Menjawab Dakwah Kaum ‘Salafi’ ” diterbitkan oleh penerbit Khatulistiwa Press 


***** awal kutipan *****

Adapun ayat ketiga ini (QS An-Nisa [4] : 64) berlaku secara umum (mutlak), tidak ada sesuatupun yang mengikatnya, baik dari nash maupun akal. Di sini tidak ada sesuatu makna yang mengikatnya dengan masa hidup Rasulullah shallallahu alaihi wasallam di dunia. Karena itu akan tetap ada hingga hari kiamat. 


Di dalam Al Qur’an, yang menjadi barometer hukum adalah umumnya lafaz, bukan berdasarkan khususnya sebab. Oleh karena itu, barang siapa yang mengkhususkan ayat ini hanya ketika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam masih hidup, maka wajib baginya untuk mendatangkan dalil yang menunjukkan hal itu. 


Keumuman (kemutlakan) makna suatu ayat tidak membutuhkan dalil, karena ‘keumuman’ itu adalah asal. Sedangkan taqyid (mengikat ayat dengan keadaan tertentu) membutuhkan dalil yang menunjukkannya. 


Ini adalah pemahaman ulama ahli tafsir, bahkan mereka yang sangat disiplin dengan atsar seperti Imam Ibnu Katsir. Dalam tafsirnya, setelah menyebutkan ayat di atas, Ibnu Katsir lalu mengomentarinya dengan berkata “Banyak ulama dalam kitab Asy Syaamil menyebutkan kisah yang sangat masyur ini”

***** akhir kutipan ***** 


Begitupula Al Imam Al Hafizh Ibnu Hajar al-Haitami berkata bahwa ayat ini (QS An-Nisa [4]: 64) menjadi petunjuk dianjurkan datang menemui Rasulullah shallallahu alaihi wasallam untuk minta ampun dosa kepada Allah di sisi Beliau dan Beliau minta ampun dosa umatnya. Dan ini (bertawasul dengan Rasulullah) TIDAK TERPUTUS dengan wafatnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. (Ibnu Hajar al-Haitami, al-Jauhar al-Munaddham, Dar al-Jawami’ al-Kalam, Kairo, Hal. 12) 


Imam Ibnu al-Hajj al-Abdari, ulama dari mazhab Maliki juga mengingatkan (QS An Nisaa [4] : 64) dan kemudian berkata, 


***** awal kutipan *****

Oleh karena itu, barang siapa yang mendatangi Beliau (Nabi shallallahu alaihi wasallam) , berdiri di depan pintu Beliau, dan bertawassul dengan Beliau, maka ia akan mendapati Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang. Karena sesungguhnya Allah Ta’ala tidak akan pernah ingkar janji. 


Allah Ta’ala telah berjanji untuk menerima tobat orang yang datang, berdiri di depan pintu Beliau dan meminta ampunan kepada Tuhannya. 


Hal ini sama sekali tidak diragukan lagi, kecuali oleh orang yang menyimpang dari agama dan durhaka kepada Allah dan RasulNya. “Kami berlindung diri kepada Allah dari halangan mendapatkan syafaat Nabi shallallahu alaihi wasallam” (Ibnu al Hajj, Al Madkhal, 1/260)

****** akhir kutipan ****** 


Sedangkan Imam Ibnu Qudamah dari kalangan mazhab Hanbali juga memberikan petunjuk di dalam adab ziarah ke makam Rasulullah, agar peziarah membaca (QS An Nisaa [4] : 64), mengajak bicara Rasulullah dengan memakai ayat tersebut dan meminta kepada Beliau untuk dimintakan ampunan kepada Allah. 


***** awal kutipan ******

Maka setelah peziarah membaca salam, doa dan shalawat kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam hendaknya ia berdoa, 


“Ya Allah, sesungguhnya Engkau telah berfirman, sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. (QS An Nisaa [4] : 64) 


Aku datang kepadamu (Nabi shallallahu alaihi wasallam) sebagai orang yang meminta ampunan atas dosa-dosaku, dan sebagai orang yang meminta syafaat melaluimu kepada Tuhanku. Aku memohon kepadaMu , wahai Tuhanku, berilah ampunan kepadaku, sebagaimana Engkau berikan kepada orang yang menemui beliau (Nabi shallallahu alaihi wasallam) ketika masih hidup.” 


Setelah itu, peziarah berdoa untuk kedua orang tuanya, saudara-saudaranya dan seluruh kaum muslimin

****** akhir kutipan ******* 


Imam an Nawawi, ulama dari kalangan Syafi’iyah, ketika menerangkan mengenai adab ziarah makam Nabi shallallahu alaihi wasallam berkata “Kemudian ia (peziarah) kembali ke tempat awalnya (setelah bergerak satu hasta ke kanan untuk menyalami Abu Bakar dan satu hasta yang lain menyalami Umar) sambil menghadap ke arah wajah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Lalu ia bertawassul dari beliau kepada Allah. Sebaik-baik dalil dalam masalah ini adalah atsar yang diceritakan oleh Imam al Mawardi al Qadhi, Abu ath-Thayyib dan ulama lainnya (An Nawawi, Al Majmuu’, 8/256) 


Bahkan seorang ustadz mereka menyampaikan pendapat ulama Najed dari bani Tamim, Muhammad bin Abdul Wahhab bahwa umat Islam yang berdoa kepada Allah diawali bertawassul dengan Rasulullah maupun para kekasih Allah (Wali Allah) yang telah wafat adalah SYIRIK AKBAR sebagaimana yang dapat disaksikan dalam video pada https://youtu.be/YS-ZPcZMVkc 


Ulama Najed dari bani Tamim, Muhammad bin Abdul Wahhab dalam kitabnya Qawa’idul ‘Arba (Empat kaidah Tauhid) MENYALAHGUNAKAN ayat-ayat yang diturunkan bagi orang-orang kafir seperti (QS Az Zumar [39]:3) dan (QS Yunus [10]:18) sehingga berpendapat atau berfatwa bahwa tawassul dengan makhluk kepada Allah adalah wasilah yang dilarang dan syirik, dan menurut Beliau itulah yang dilakukan oleh orang-orang musyrik dahulu. 


Hal ini disampaikan pula dalam kitab syarah (penjelasan) Qawa’idul ‘Arba (Empat kaidah Tauhid) karya ulama mereka, Sholih Fauzan Al-Fauzan pada halaman 44 yang dapat diunduh (download) dari https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2012/03/pemahaman-tauhid-maw.pdf 


Salah satu ciri khas dari orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim atau kaum khawarij yakni mereka GEMAR MENYALAHGUNAKAN ayat-ayat yang diturunkan bagi orang-orang kafir untuk MENYERANG umat Islam 


Dari Bakir bin Abdullah bin Al Asyaj, bahwa dia bertanya kepada Nafi, tentang bagaimana Abdullah bin Umar (Ibnu Umar) radhiyallahu 'anhu dalam mensifati kelompok khawarij mengatakan, 


وكان ابن عمر يراهم شرار خلق الله وقل إنهم انطلقو إلى آيات نزلت فى الكفار فجعلوها على 

المؤمنين 


“Mereka menggunakan ayat-ayat yang diturunkan bagi orang-orang kafir lantas mereka terapkan untuk menyerang orang-orang beriman” (Fathul Bari, 12/286) 


Begitupula mereka menyerang dan mengkafirkan umat Islam dengan ayat-ayat yang diturunkan bagi orang-orang kafir seperti firman Allah Ta’ala yang artinya, 


“Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya” (QS Az Zumar [39]:3) 


“Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfa’atan, dan mereka (kaum musyrik) berkata: “Mereka itu adalah pemberi syafa’at kepada kami di sisi Allah” (QS Yunus [10]:18) 


Padahal dari kedua firman Allah Ta’ala tersebut dapat kita ketahui bahwa, 


Kaum musyrik bertawassul DENGAN MENYEMBAH BERHALA yang diyakini (dianggap) oleh mereka akan mendekatkan mereka kepada Allah Ta’ala. 


Kaum musyrik bertawassul DENGAN MENYEMBAH BERHALA yang diyakini (dianggap) oleh mereka akan memperoleh syafa’at di sisi Allah Ta’ala. 


Jadi kaum musyrik bertawassul dengan SESUATU YANG DIBENCI oleh Allah Ta’ala yakni BERTAWASUL dengan MENYEMBAH BERHALA 


Sedangkan umat Islam bertawassul dengan SESUATU YANG DICINTAI oleh Allah Ta’ala yakni BERTAWASUL dengan AMAL KEBAIKAN yakni rasa cinta kepada Rasulullah maupun para kekasih Allah (Wali Allah) yang diwujudkan dengan ucapan salam atau dengan syair ungkapan kecintaan kepada yang dicintainya sebagaimana yang telah disampaikan di atas. 


Begitupula tidak ada masalah di sisi kuburan para kekasih Allah (Wali Allah) berdoa kepada Allah Ta’ala dengan MENJAGA ADAB DALAM BERDOA yakni MENGAWALINYA BERTAWASSUL dengan AMAL KEBAIKAN seperti mengucapkan salam kepada ahli kubur atau sedekah (hadiah) bacaan seperti surat Al Fatihah atau surat lainnya sebelum doa inti dipanjatkan kepada Allah Ta’ala untuk ahli kubur atau kepentingan sendiri 


Tidak ada satupun ulama yang mengingkari dalil dari hadits tentang BERTAWASUL dengan AMAL KEBAIKAN berdasarkan kisah tiga orang yang terperangkap dalam gua. 


Dari Abu ‘Abdir Rahman, yaitu Abdullah bin Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhuma, katanya: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, 


“Ada tiga orang dari orang-orang sebelum kalian berangkat bepergian. Suatu saat mereka terpaksa mereka mampir bermalam di suatu goa kemudian mereka pun memasukinya. Tiba-tiba jatuhlah sebuah batu besar dari gunung lalu menutup gua itu dan mereka di dalamnya. Mereka berkata bahwasanya tidak ada yang dapat menyelamatkan mereka semua dari batu besar tersebut kecuali jika mereka semua BERDOA kepada Allah Ta’ala dengan menyebutkan AMAL KEBAIKAN mereka.” 


Mereka BERTAWASUL dengan AMAL KEBAIKAN yang mereka lakukan berupa berbuat baik kepada kedua orangtua, meninggalkan perbuatan zina, dan menunaikan hak orang lain, maka Allah mengabulkan doa mereka sehingga mereka dapat keluar dari goa karena sebab tawasul dalam doa yang mereka lakukan. 


Ini menunjukkan diperbolehkannya sesorang BERTAWASUL dengan AMAL KEBAIKAN. 


Rasulullah bersabda bahwa AMAL KEBAIKAN (SEDEKAH) tidak selalu dalam bentuk harta 


Rasulullah bersabda “Setiap kalimat tasbih adalah sedekah, setiap kalimat takbir adalah sedekah, setiap kalimat tahmid adalah sedekah, setiap kalimat tahlil adalah sedekah, amar ma’ruf nahi munkar adalah sedekah.(HR Muslim 1674) 


Sunnah Rasulullah agar doa inti yang kita panjatkan kepada Allah lebih mustajab maka kita disunnahkan diawali bertawasul dengan amal kebaikan berupa memuji Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bertawasul dengan amal kebaikan berupa sholawat (menghadiahkan doa selamat bagi Rasulullah) sebelum doa inti kita panjatkan kepada Allah Azza wa Jalla 


Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Jika salah seorang di antara kalian berdoa maka hendaknya dia memulainya dengan memuji dan menyanjung Allah, kemudian dia bershalawat kepada Nabi -shallallahu alaihi wasallam-, kemudian setelah itu baru dia berdoa sesukanya.” (HR Ahmad, Abu Dawud dan dishahihkan oleh At Tirmidzi) 


Anas bin Malik r.a meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Tiada doa kecuali terdapat hijab di antaranya dengan di antara langit, hingga bershalawat atas Nabi shallallahu alaihi wasallam, maka apabila dibacakan shalawat Nabi, terbukalah hijab dan diterimalah doa tersebut, namun jika tidak demikian, kembalilah doa itu kepada pemohonnya“. 


KH. Maimoen Zubair berwasiat tentang pentingnya wasilah (Tawassul). Beliau mengingatkan bahwa, “yang termasuk orang yang tidak punya adab terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala itu nak, orang yang selalu berdo’a langsung minta yang diinginkan tanpa memuji Allah dahulu, tanpa wasilah menggunakan salah satu Asma’ul Husnahnya Allah tanpa wasilah kepada baginda Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam dahulu, sukanya langsung minta apa yang di inginkan”. 


Pada hakikatna berdoa kepada Allah Ta'ala di sisi kuburan para kekasih Allah (wali Allah) hanyalah ALTERNATIF PILIHAN tempat mustajab bagi yang belum mempunyai kemampuan atau kesempatan berdoa kepada Allah Ta'ala di tempat mustajab seperti Raudoh, Multazam, Maqom Ibrahim maupun di Hijr Ismail karena kuburan mereka ada cinta, lantaran cinta Allah pada mereka seluruh tempat persemadian mereka dicintai Allah. 


Cinta tiada mengalami kematian, ia tetap hidup dan terus hidup dan akan melimpah kepada para pencintanya. 


Adz-Dzahabi; dalam karyanya; Siyar A’lam an-Nubala’, jld. 9, cet. 9, tentang biografi Imam Ma’ruf al-Karkhi; beliau adalah Abu Mahfuzh al-Baghdadi. Dari Ibrahim al-Harbi berkata: “Makam Imam Ma’ruf al-Karkhi adalah obat yang paling mujarab”. Adz-Dzahabi berkata: “Yang dimaksud ialah terkabulnya doa di sana yang dipanjatkan oleh orang yang tengah kesulitan, oleh karena tempat-tempat yang berkah bila doa dipanjatkan di sana akan terkabulkan, sebagaimana terkabulkannya doa yang dipanjatkan di waktu sahur (sebelum subuh), doa setelah shalat-shalat wajib, dan doa di dalam masjid-masjid……”. 


Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : 


اقرءوا يس على موتاكم 


“Bacalah surat Yaasiin untuk orang yang mati di antara kamu.” (Riwayat Imam Abu Dawud; kitab Sunan Abu Dawud, Juz III, halaman 191) 


Al-Faqih al-Hanbali al-Ushuli al-Mutqin al-‘allamah Qadhi qudhah, Ibnu an-Najjar berkomentar : 


الحديث يَشْمَلُ الْمُحْتَضَرَ وَالْمَيِّتَ قَبْلَ الدَّفْنِ وَبَعْدَهُ , فَبَعْدَ الْمَوْتِ حَقِيقَةٌ , وَقَبْلَهُ مَجَازٌ 


“ Hadits tersebut mencangkup orang yang sekarat maupun sudah wafat, baik sebelum dimakamkan atau pun sudah dimakamkan. Setelah dimakamkan, maka itu adalah makna hadits secara hakikat (dhahir) dan sebelum dimakamkan, maka itu makna hadits secara majaz “ (Mukhtashar at-Tahrir syarh al-Kaukab al-Munir : 3/193) 


Sayyiduna Ma’aqal ibn Yassaar radiyallau ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Yasin adalah kalbu dari Al Quran. Tak seorangpun yang membacanya dengan niat menginginkan akhirat melainkan Allah akan mengampuninya. Bacalah atas orang-orang yang wafat di antaramu.” (Sunan Abu Dawud). 


Imam Haakim mengklasifikasikan hadits ini sebagai sahih di Mustadrak al-Haakim juz 1, halaman 565; lihat juga at-Targhiib juz 2 halaman 376. 


al-Hafidh (Ibnu Hajar) berkata setelah mentakhrijnya dengan sanadnya kepada al-Baihaqi, ia berkata ; telah menceritakan kepada kami Abu Abdillah al-Hafidz, ia berkata telah menceritakan kepada kami Abul ‘Abbas bin Ya’qub, ia berkata, telah menceritakan kepada kami al-‘Abbas bin Muhammad, ia berkata, aku bertanya kepada Yahya bin Mu’in tentang pembacaan al-Qur’an disamping qubur, maka ia berkata ; telah menceritakan kepadaku Mubasysyir bin Isma’il al-Halabi dari ‘Abdur Rahman bin al-Lajlaj dari ayahnya, ia berkata kepada putranya, apabila aku telah wafat, letakkanlah aku didalam kuburku, dan katakanlah oleh kalian “Bismillah wa ‘alaa Sunnati Rasulillah”, kemudian gusurkan tanah diatasku dengan perlahan, selanjutnya bacalah oleh kalian disini kepalaku awal surah al-Baqarah dan mengkhatamkannya, karena sesungguhnya aku melihat Ibnu ‘Umar menganjurkan hal itu. Kemudian al-Hafidh (Ibnu Hajar) berkata setelah mentakhrijnya, hadits ini mauquf yang hasan. 


Imam Ahmad semula mengingkarinya karena atsar tentang hal itu tidak sampai kepadanya namun kemudian Imam Ahmad ruju’ 


al-Hafidh Ibnu Hajar al Baihaqi setelah mentakhrijnya berkata, 


أخريجه أبو بكر الخلال وأخريجه من رواية أبى موسى الحداد وكان صدوقا قال صلينا مع أحمد على جنازة فلما فرغ من ذفنه حبس رجل ضرير يقرأ عند القبر فقال له أحمد يا هذا إن القراءة عند القبر بدعة فلما خرجنا قال له محمد بن قدامة يا أبا عبد الله ما تقول فى مبشر بن إسماعيل قال ثقة قال كتبت عنه شيئا قال نعم قال إنه حدثنى عن عبد الرحمن بن اللجلاج عن أبيه أنه أوصى إذا دفن أن يقرؤا عند قبره فاتحة البقرة وخاتمتها وقال سمعت ابن عمر يوصى بذلك قال فقال أحمد للرجل فليقرأ. اه 


Abu Bakar al-Khallal telah mentakhrijnya dan ia juga mentakhrijnya dari Abu Musa al-Haddad sedangkan ia orang yang sangat jujur. Ia berkata : kami shalat jenazah bersama bersama Ahmad, maka tatkala telah selesai pemakamannya duduklah seorang laki-laki buta yang membaca al-Qur’an disamping qubur, maka Ahmad berkata kepadanya ; “hei apa ini, sungguh membaca al-Qur’an disamping qubur adalah bid’ah”. Maka tatkala kami telah keluar, berkata Ibnu Qudamah kepada Ahmad : “wahai Abu Abdillah, apa komentarmu tentang Mubasysyir bin Isma’il ? “, Ahmad berkata : tsiqah, Ibnu Qudamah berkata : engkau menulis sesuatu darinya ?”, Ahmad berkata : Iya. Ibnu Qudamah berkata : sesungguhnya ia telah menceritakan kepadaku dari Abdur Rahman bin al-Lajlaj dari ayahnya, ia berpesan apabila dimakamkan agar dibacakan pembukaan al-Baqarah dan mengkhatamkannya disamping kuburnya, dan ia berkata : aku mendengar Ibnu ‘Umar berwasiat dengan hal itu, Maka Ahmad berkata kepada laki-laki itu “lanjutkanlah bacaaanmu”. 


Wassalam


Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERBEDAAN AMIL DAN PANITIA ZAKAT

 PERBEDAAN   AMIL DAN PANITIA ZAKAT 1- Amil adalah wakilnya mustahiq. Dan Panitia zakat adalah wakilnya Muzakki. 2- Zakat yang sudah diserahkan pada amil apabila hilang atau rusak (tidak lagi layak di konsumsi), kewajiban zakat atas muzakki gugur. Sementara zakat yang di serahkan pada panitia zakat apabila hilang atau rusak, maka belum menggugurkan kewajiban zakatnya muzakki. - (ﻭﻟﻮ) (ﺩﻓﻊ) اﻟﺰﻛﺎﺓ (ﺇﻟﻰ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﻛﻔﺖ اﻟﻨﻴﺔ ﻋﻨﺪﻩ) ﺃﻱ ﻋﻨﺪ اﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﻨﻮ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﻋﻨﺪ اﻟﺪﻓﻊ ﻟﻠﻤﺴﺘﺤﻘﻴﻦ * ﻷﻧﻪ ﻧﺎﺋﺒﻬﻢ ﻓﺎﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻛﺎﻟﺪﻓﻊ ﻟﻬﻢ ﺑﺪﻟﻴﻞ ﺃﻧﻬﺎ ﻟﻮ ﺗﻠﻔﺖ ﻋﻨﺪﻩ اﻟﺰﻛﺎﺓ ﻟﻢ ﻳﺠﺐ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﺎﻟﻚ ﺷﻲء ﻭاﻟﺴﺎﻋﻲ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﻛاﻟﺴﻠﻄﺎﻥ.* - {نهاية المحتاج جز ٣ ص ١٣٩} - (ﻭﻟﻮ ﺩﻓﻊ ﺇﻟﻰ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ) ﺃﻭ ﻧﺎﺋﺒﻪ ﻛﺎﻟﺴﺎﻋﻲ (ﻛﻔﺖ اﻟﻨﻴﺔ ﻋﻨﺪﻩ) ﺃﻱ ﻋﻨﺪ اﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﻨﻮ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﻋﻨﺪ اﻟﺼﺮﻑ؛ * ﻷﻧﻪ ﻧﺎﺋﺐ اﻟﻤﺴﺘﺤﻘﻴﻦ ﻓﺎﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻛﺎﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻬﻢ ﻭﻟﻬﺬا ﺃﺟﺰﺃﺕ ﻭﺇﻥ ﺗﻠﻔﺖ ﻋﻨﺪﻩ ﺑﺨﻼﻑ اﻟﻮﻛﻴﻞ* ﻭاﻷﻓﻀﻞ ﻟﻹﻣﺎﻡ ﺃﻥ ﻳﻨﻮﻱ ﻋﻨﺪ اﻟﺘﻔﺮﻗﺔ ﺃﻳﻀﺎ.. - {تحفة المحتاج جز ٣ ص ٣٥٠} 3- Menyerahkan zakat pada amil hukumnya Afdhol (lebih utama) daripada di serahkan sendiri oleh muzakki pada m

DALIL TAHLILAN

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ Masyarakat muslim Indonesia adalah mayoritas penganut madzhab Imam Syafi’i atau biasa disebut sebagai Syafi’iyah (penganut Madzhab Syafi’i). Namun, sebagain lainnya ada yang tidak bermadzhab Syafi’i. Di Indonesia, Tahlilan banyak dilakukan oleh penganut Syafi’iyah walaupun yang lainnya pun ada juga yang melakukannya. Tentunya tahlilan bukan sekedar kegiatan yang tidak memiliki dasar dalam syariat Islam, bahkan kalau ditelusuri dan dikaji secara lebih mendalam secara satu persatu amalan-amalan yang ada dalam tahlilan maka tidak ada yang bertentangan dengan hukum Islam, sebaliknya semuanya merupakan amalah sunnah yang diamalkan secara bersama-sama. Oleh karena itu, ulama seperti walisongo dalam menyebarkan Islam sangatlah bijaksana dan lihai sehingga Islam hadir di Indonesia dengan tanpa anarkis dan frontal, salah satu buahnya sekaligus kelihaian dari para ulama walisongo adalah diperkenalkannya kegiatan tahlilan dengan sangat bijaksana.

MEMBERIKAN ZAKAT FITRAH KEPADA USTADZ

PENGERTIAN FII SABILILLAH MENURUT PERSPEKTIF EMPAT MADZHAB. Sabilillah ( jalan menuju Allah ) itu banyak sekali bentuk dan pengamalannya, yg kesemuanya itu kembali kepada semua bentuk kebaikan atau ketaatan. Syaikh Ibnu Hajar alhaitamie menyebutkan dalam kitab Tuhfatulmuhtaj jilid 7 hal. 187 وسبيل الله وضعاً الطريقة الموصلةُ اليه تعالى (تحفة المحتاج جزء ٧ ص ١٨٧) Sabilillah secara etimologi ialah jalan yang dapat menyampaikan kepada (Allah) SWT فمعنى سبيل الله الطريق الموصل إلى الله وهو يشمل كل طاعة لكن غلب إستعماله عرفا وشرعا فى الجهاد. اه‍ ( حاشية البيجوري ج ١ ص ٥٤٤)  Maka (asal) pengertian Sabilillah itu, adalah jalan yang dapat menyampaikan kepada Allah, dan ia mencakup setiap bentuk keta'atan, tetapi menurut pengertian 'uruf dan syara' lebih sering digunakan untuk makna jihad (berperang). Pengertian fie Sabilillah menurut makna Syar'ie ✒️ Madzhab Syafi'ie Al-imam An-nawawie menyebutkan didalam Kitab Al-majmu' Syarhulmuhaddzab : واحتج أصحابنا بأن المفهوم في ا