KHITAN PEREMPUAN
Diskripsi Masalah
Dalam riwayat Bukhari, Muslim dan Ahmad
dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Ada lima macam yang
termasuk fitrah, yaitu "khitan, mencukur rambut yang tumbuh di sekitar
kemaluan, menggunting kumis, memotong kuku dan mencabut bulu ketiak.”
Hadits tersebut menunjukkan bahwa Islam
adalah ajaran yang komprehensif yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia,
termasuk hal-hal yang sepele yang menjadi naluri kebiasaan manusia.
Dalam konteks khitan, ulama sepakat bahwa
laki-laki dianjurkan untuk berkhitan, karena secara logika bisa dipahami,
karena merupakan bagian dari kebersihan (thaharah), tetapi tidak
demikian bagi perempuan, banyak kalangan, terutama tenaga medis yang melarang
khitan bagi perempuan. Sementara itu sebagian kalangan berpendapat bahwa khitan
bagi perempuan harus dilakukan, karenanya masalah khitan bagi perempuan perlu
mendapatkan kejelasan secara tuntas dan menyeluruh
Pertanyaan
Bagimana penjelasan
khitan bagi perempuan dalam sisi:
1.
Dalil-dalil masru’iyahnya.
2.
Hikmahnya.
3.
Hukumnya.
4.
Teknis dan waktu pelaksanaanya.
Jawaban :
1.
Dalil-dalil yang menjadi landasan khitan bagi perempuan:
a.
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari
haditsnya Usamah RA.:
أن النبي
صلى الله عليه و سلم قال: (الختان سنة للرجال مكرمة للنساء( أخرجه أحمد عن أسامة، والطبراني
في الكبير عن شداد بن أوس وعن ابن عباس رضي الله عنهم.
Hadits
tersebut berkwalitas hasan sebagaimana dinyatakan oleh al-Suyuthi dalam
al-Jami’ as-Shoghir, sementara al-Baihaqi, al-Dzahabi, ibn Hajar dan al-‘Iraqi
berpendapat dlo’if.
b.
Hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah pakar
hadits diantaranya Imam al-Bukhori dan Imam Muslimn dari haditsnya Abi Hurairoh
RA. dari Rasulullah SAW beliau bersabda:
)الفطرة خمس – أوخمس من الفطرة – الختان والاستحداد ونتف الإبط وتقليم الأظفار
وقص الشارب) أخرجه الشيخان وأبو داود
والدارمي ومالك وأحمد.
Setiap
hadits yang diriwayatkan al-Bukhori dan Muslim atau salah satunya dijamin
shohih tanpa harus diteliti.
c.
Hadits yang diriwayatkan oleh Abi Daud dari
haditsnya Umi Athiyah Al-Anshoriyah yang menyampaikan:
عن أم عطية
الأنصارية؛ أَنَّ امْرَأَة كَانَتْ تَخْتِنُ بِالْمَدِينَةِ، فَقَالَ لَهَا
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (لاَ تُنْهِكِي فَإِنَّ ذَلِكَ
أَحْظَى لِلْمَرْأَةِ وَأَحَبُّ إِلَى الْبَعْلِ) رواه أبو داود
قال الخطابي: "وقد جاء في رواية أخرى (أشمى ولا تنهكي)،
قيل: شبه القطع اليسير بإشمام الرائحة، وشبه النهك بالمبالغة فيه، أي اقطعي بعض
النواة ولا تستأصليه.
قوله (لاتنهكي) معناه: لا تبالغي في الخفض، والنهك: المبالغة في
الضرب والقطع والشتم، والإشمام أخذ اليسير في ختان المرأة. اهـ
Hadits tersebut dloif sebagaimana dikatakan Abu Dawud, tetapi
memiliki dua syahid yaitu haditsnya Anas dan haditsnya Ummi Ayman yang
diriwayatkan Abu As-Syaikh dalam kitab Aqiqoh, dan haditsnya Ad-Dlohhak ibn
Qoys yang diriwayatkan al-Baihaqi –sebagaimana dikatakan Al-Adzim Abady
pengarang Aunul Ma’bud – .
d.
Hadits yang diriwayatkan Ath-Thabarani dan
Al-Hakim dari Adl-Dlohhak ibn Qois RA:
(اخْفِضِي، وَلا تُنْهِكِي، فَإِنَّهُ أَنْضَرُ لِلْوَجْهِ،
وَأَحْظَى عِنْدَ الزَّوْجِ) أخرجه الطبراني والحاكم.
Hadits
tersebut shohih menurut Imam Suyuthi dalam al-jami” ash-shogir
e.
Haditsnya Abi Hurairah
RA :
قال رسول
الله صلى الله عليه وسلم: (اختتن إبراهيم عليه السلام وهو ابن ثمانين سنة بالقدوم)
أخرجه الشيخان وأحمد،
مع قوله
تعالى: ﴿قُلْ صَدَقَ اللهُ فَاتَّبِعُوا مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا
وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِين﴾ سورة آل عمران: 95.
Hadits
di atas diriwayatkan
oleh Imam al-Bukhori dan Imam Muslim, sehingga dipastikan shohih.
2.
Hikmah dianjurkan
khitan bagi perempuan bisa tertangkap dari hadits yang diriwayatkan oleh
Imam Abi Daud dari haditsnya Umi Athiyah Al Ansyoriyah :
عن أم عطية
الأنصارية؛ أَنَّ امْرَأَة كَانَتْ تَخْتِنُ بِالْمَدِينَةِ،: (لاَ تُنْهِكِي
فَإِنَّ ذَلِكَ أَحْظَى لِلْمَرْأَةِ وَأَحَبُّ إِلَى الْبَعْلِ) رواه أبو داود
Hadits tersebut memberikan pengertian dua hal :
Pertama : Berkhitan bagi perempuan dianjurkan, dan
ini bagian dari hadits taqriri, mengingat Rasululloh SAW tidak melarang tradisi
orang Madinah, bahkan memberikan pengarahan cara melakukan khitan.
Kedua : Rasulullah
SAW melegitimasi khitan perempuan, padahal kekhawatiran Beliau akan terjadinya
malpraktek, sehingga menyebabkan frigid tampak jelas dalam hadits tersebut, hal
ini mengindikasikan adanya hikmah dan manfaat dalam khitan yang lebih penting
dibanding dengan kehawatiran akan terjadinya mal praktek. Hanya saja hikmah itu
tidak terungkap jelas dalam hadits tersebut. Sebagian Ulama mencoba mencari
hikmah dianjurkannya khitan bagi perempuan dengan mengatakan bahwa khitan
menjadi kendali bagi nafsu dan syahwat perempuan .
Di samping itu, menurut Dr. Al-Bar dalam
paper yang dipresentasikan dalam al-Majma’ al-Fiqhi pada Rabithah al-‘Alam
al-Islami disebutkan hikmahnya khitan perempuan sebagai berikut:
a.
Mengikuti syari’at Allah SWT. dan sunnah Nabi
SAW.
b.
Thaharah
c.
Kebersihan yang dapat mencegah infeksi
saluran kencing
d.
Menstabilkan syahwat
e.
Menetapkan pengganti yang sesuai untuk
memerangi adat kebiasaan yang tidak sesuai dengan syariah dan mendatangkan
dharar
f.
Meninggikan syi’ar ibadah, bukan adat
istiadat
g.
Memelihara aspek sosial dan kejiwaan yang
timbuil akibat meninggalkan khitan.
3.
Teknis dan waktu pelaksanaanya
Khitan perempuan dilakukan dengan menghilangkan sebagian
kecil dari kulit ari yang menutupi klitoris, bukan membuangnya sama sekali.
Bahkan Rasulullah justru mengingatkan agar tidak berlebihan dalam memotong,
sebagaimana terungkap dalam haditsnya Umi Athiyah Al Ansyoriyah tersebut
diatas.
Adapun waktu khitan bagi
perempuan yang paling baik adalah hari ketujuh dari kelahirannya. Ulama berbeda
pendapat tentang penetapan hitungan hari ketujuh. Ada yang berpendapat hari
pertama kelahiran dihitung satu hari, ini pendapat yang kuat, sementara itu,
ada yang menganggap hari pertama tidak dihitung.
4.
Hukumnya
Ulama berbeda pendapat tentang hukum
khitan bagi perempuan, ada yang mengatakan sunnah, ada yang mengatakan mubah.
Sedangkan menurut Syafi’i hukumnya wajib, seperti hukum khitan bagi
laki-laki –sebagaimana dikemukakan Imam Nawawi.
Pendapat yang mengatakan khitan perempuan dilarang sebetulnya tidak memiliki dalil
syar’i, kecuali hanya sekedar melihat bahwa khitan perempuan adalah menyakitkan korban (perempuan), sementara hadits yang menjelaskan khitan perempuan
(haditsnya Abui Dawud) tidak
menunjukkan taklif disamping juga kesahihannya diragukan. Padahal ada qaidah
ushul yang menyatakan bahwa“adam
al-dalil laisa bidalilin” (عدم الدليل ليس بدليل).
Adapun pendapat yang mengatakan sunnah,
berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad :
عَنْ أَبِي
الْمَلِيحِ بْنِ أُسَامَةَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: (الْخِتَانُ سُنَّةٌ لِلرِّجَالِ مَكْرُمَةٌ لِلنِّسَاءِ) رواه
أحمد
Lafadz
“sunnah” yang dikehendaki disini bukan berarti lawannya “wajib”,
karena lafadz sunah apabila dipakai dalam sebuah hadits, maka tidak
dimaksudkan sebagai lawannya wajib. tetapi lebih pada persoalan pembedaan
antara laki-laki dan perempuan dalam sisi hukumnya. Dengan begitu
arti “sunah” dan “makrumah” dalam hadits tersebut, maksudnya:
laki-laki lebih dianjurkan berkhitan dibanding dengan perempuan. Sehingga bisa
jadi artinya laki-laki “sunah” berkhitan, perempuan mubah. Atau wajib bagi
laki-laki dan sunnah bagi perempuan. Atau kalau laki-laki dianjurkan
mengumumkan khitannya, baik dalam bentuk walimatul khitan atau
undangan, sedang kalau perempuan justru yang baik di rahasiakan, tidak
perlu diekspose atau disebar-luaskan.
أقوال
العلماء :
قال
العسقلاني شرحا لحديث : (الْفِطْرَةُ خَمْسٌ أَوْ خَمْسٌ مِنْ الْفِطْرَةِ؛
الْخِتَانُ وَالاِسْتِحْدَادُ وَنَتْفُ الْإِبْطِ وَتَقْلِيمُ اْلأَظْفَارِ
وَقَصُّ الشَّارِبِ) رواه البخاري عن أبي هريرة:
قال
الماوردي ختانها قطع جلدة تكون في أعلى فرجها فوق مدخل الذكر كالنواة أو كعرف
الديك والواجب قطع الجلدة المستعلية منه دون استئصاله. وقد أخرج أبو داود من حديث
أم عطية أن امرأة كانت تختن بالمدينة فقال لها النبي صلى الله عليه وسلم: (لا
تنهكي فإن ذلك أحظى للمرأة) وقال أنه ليس بالقوي قلت وله شاهدان من حديث أنس ومن
حديث أم أيمن ثم أبي الشيخ في كتاب العقيقة وآخر عن الضحاك بن قيس عند البيهقي،
قال النووي ويسمى ختان الرجل إعذارا بذال معجمة وختان المرأة خفضا بخاء وضاد
معجمتين، وقال أبو شامة كلام أهل اللغة يقتضي تسمية الكل إعذارا والخفض يختص
بالأنثى قال أبو عبيدة عذرت الجارية والغلام وأعذرتهما ختنتهما وأختنتهما وزنا
ومعنى. قال الجوهري والأكثر خفضت الجارية قال وتزعم العرب أن الغلام إذا ولد في
القمر فسخت قلفته أي اتسعت فصار كالمختون وقد استحب العلماء من الشافعية فيمن ولد
مختونا أن يمر بالموسى على موضع الختان من غير قطع، قال أبو شامة: "وغالب من
يولد كذلك لا يكون ختانه تاما بل يظهر طرف الحشفة فإن كان كذلك وجب تكميله وأفاد
الشيخ أبو عبد الله بن الحاج في المدخل أنه اختلف في النساء هل يخفضن عموما أو
يفرق بين نساء المشرق فيخفضن ونساء المغرب فلا يخفضن لعدم الفضلة المشروع قطعها
منهن بخلاف نساء المشرق قال فمن قال أن من ولد مختونا استحب إمرار الموسى على
الموضع امتثالا للأمر قال في حق المرأة كذلك ومن لا فلا، وقد ذهب إلى وجوب الختان
دون باقي الخصال الخمس المذكورة في الباب الشافعي وجمهور أصحابه، وقال به من
القدماء عطاء حتى قال لو أسلم الكبير لم يتم إسلامه حتى يختن، وعن أحمد وبعض
المالكية يجب وعن أبي حنيفة واجب وليس بفرض وعنه سنة يأثم بتركه وفي وجه للشافعية
لا يجب في حق النساء وهو الذي أورده صاحب المغني. (أحمد بن علي بن حجر أبو الفضل العسقلاني، فتح الباري
شرح صحيح البخاري، المحقق؛ عبد العزيز بن عبد الله بن باز، بيروت، دار الكتب العلمية،
سنة 1410 هـ. / 1989 مـ.، طبعة 1، ج 10، ص 417-418)
قال يحيى
بن شرف النووي شرحا لحديث: (الْفِطْرَةُ خَمْسٌ الاِخْتِتَانُ وَالاِسْتِحْدَادُ
وَقَصُّ الشَّارِبِ وَتَقْلِيمُ اْلأَظْفَارِ وَنَتْفُ اْلإِبِطِ) رواه مسلم عن
أبي هريرة رضي الله عنه:
قوله:
(الفطرة خمس, ثم فسر صلى الله عليه وسلم الخمس فقال: (الختان والاستحداد وتقليم
الأظفار ونتف الإبط وقص الشارب) وفي الحديث الآخر: (عشر من الفطرة: قص الشارب
وإعفاء اللحية والسواك واستنشاق الماء وقص الأظفار وغسل البراجم ونتف الإبط وحلق
العانة وانتقاص الماء قال مصعب: ونسيت العاشرة إلا أن تكون المضمضة). أما قوله صلى
الله عليه وسلم: (الفطرة خمس) فمعناه خمس من الفطرة كما في الرواية الأخرى (عشر من
الفطرة), وليست منحصرة في العشر, وقد أشار صلى الله عليه وسلم إلى عدم انحصارها
فيها بقوله: "من الفطرة"، والله أعلم. وأما الفطرة فقد اختلف في المراد
بها هنا، فقال أبو سليمان الخطابي: ذهب أكثر العلماء إلى أنها السنة, وكذا ذكره
جماعة غير الخطابي قالوا: ومعناه أنها من سنن الأنبياء صلوات الله وسلامه عليهم,
وقيل: هي الدين, ثم إن معظم هذه الخصال ليست بواجبة عند العلماء, وفي بعضها خلاف
في وجوبه كالختان والمضمضة والاستنشاق, ولا يمتنع قرن الواجب بغيره كما قال الله
تعالى: {كلوا من ثمره إذا أثمر وآتوا حقه يوم حصاده} والإيتاء واجب, والأكل ليس
بواجب، والله أعلم. أما تفصيلها (فالختان) واجب عند الشافعي وكثير من العلماء,
وسنة عند مالك وأكثر العلماء, وهو عند الشافعي واجب على الرجال والنساء جميعا, ثم
إن الواجب في الرجل أن يقطع جميع الجلدة التي تغطي الحشفة حتى ينكشف جميع الحشفة,
وفي المرأة يجب قطع أدنى جزء من الجلدة التي في أعلى الفرج, والصحيح من مذهبنا
الذي عليه جمهور أصحابنا أن الختان جائز في حال الصغر ليس بواجب, ولنا وجه أنه يجب
على الولي أن يختن الصغير قبل بلوغه, ووجه أنه يحرم ختانه قبل عشر سنين, وإذا قلنا
بالصحيح استحب أن يختن في اليوم السابع من ولادته, وهل يحسب يوم الولادة من السبع؟
أم تكون سبعة سواه؟ فيه وجهان أظهرهما يحسب. (شرح النووي على صحيح مسلم، يحيى بن
شرف النووي، بيروت، دار إحياء التراث العربي، سنة 1392 هـ.، طبعة 2، ج 3، ص
147-148)
قدم
الدكتور البار إلى المجمع الفقهي برابطة العالم الإسلامي بمكة المكرمة بحثا جاء
فيه: "إن ختان الأنثى أو خفضها الذي ورد فى السنة له محاسن كثيرة ذكرها
الباحثون فى المؤتمر الطبي الإسلامي -عن الشريعة والقضايا الطبية المعاصرة- هذه
الفوئد يمكن أن تلخص فى:
-ذهاب
الغلمة والشبق (وتعنى شدة الشهوة والإنشغال بها والإفراط فيها) ، وذهابهما يعني:
تعديل الشهوة عند المختونين من الرجال والنساء.
- منع
الروائح الكريهة الناتجة عن تراكم اللخن تحت القلفة.
- انخفاض
معدل التهابات المجازي البولية.
- انخفاض
معدل التهابات المجاري التناسلية.
بهذا يمكن
أن نقول: إن فوائد الختان الشرعي هي:
1. تثبيت
شرع الله وسنة المصطفى صلى الله عليه وسلم.
2. الطهارة.
3. النظافة
التي تؤدي إلى انخفاض فى معدل الالتهابات البولية والتناسلية.
4. تحسين
الخلق حتى يكون الخلق على الفطرة الحنيفية.
5. تعديل
الشهوة
6. تثبيت
البديل المناسب لمحاربة العادة غير الشرعية والضارة.
7. إعلاء
شغيرة العبادة لا العادة
8. مراعاة
النواحي الإجتماعية والنفسية الناتجة عن التخلي المطلق عن الختان.
(عبد الحافظ الصاوي، ختان الإناث، مصر، دار الكلمة، سنة 2007
مـ.، ص 55)
قال النووي
:
وأما ختان
المرأة فاعلم أن مدخل
الذكر هو مخرج الحيض والولد والمني، وفوق مدخل الذكر ثقب مثل إحليل الرجل، هو مخرج
البول، وبين هذا الثقب ومدخل الذكر جلدة رقيقة، وفوق مخرج البول جلدة رقيقة مثل
ورقة بين الشفرين، والشفران تحيطان بالجميع، فتلك الجلدة الرقيقة يقطع منها في
الختان وهي ختان المرأة. (المجموع شرح المهذب، بيروت، دار الفكر، سنة 1417-1996
هـ.، طبعة 1، المحقق: محمود مطرحي، ج 2، ص 149)
قال زين بن
إبراهيم :
وختان المرأة موضع قطع جلدة منها كعُرْف الديك فوق
الفرج وذلك لأن مدخل الذكر هو مخرج المني والولد والحيض وفوق مدخل الذكر مخرج
البول كإحليل الرجل وبينهما جلدة رقيقة يقطع منها في الختان فحصل أن ختان المرأة
متسفل تحت مخرج البول وتحت مخرج البول مدخل الذكر فإذا غابت الحشفة في الفرج فقد
حاذى ختانه ختانها. (زين بن إبراهيم بن محمد بن محمد بن بكر، البحر الرائق شرح
كنـز الدقائق، بيروت، دار المعرفة، ج 1، ص 61)
قال الشنقيطي :
فشرع هذا الختان طهارة
للرجل, وكذلك تخفيفا من الشهوة في المرأة, فإن المرأة إذا تركت على حالها اشتدت
شهوتها, ولذلك كما ذكر شيخ الإسلام رحمة الله عليه يقول: يوجد في نساء الكفار من
الشدة لطلب الفساد والحرام ما لا يوجد في نساء المؤمنين، وذلك لمحل الختان. وجعل الله في الختان مصلحة الدين والدنيا, فلذلك
يحصل به العفة للمرأة والرجل, وتحصل به العفة للمرأة والطهارة للرجل، ولذلك المرأة
إذا اجتثت هذه الجلدة ذهبت شهوتها كما يقول الأطباء والحكماء من المتقدمين
والمتأخرين، وإذا تركت اشتدت غلمتها, ولذلك ورد في حديث ابن عطية كما أشار إليه
الإمام ابن القيم في التحفة: (أشمي ولا تنهكي) والإشمام يكون من أعلى الشيء،
والإنهاك اجتثاثه من أصله، وهو حديث متكلم في سنده, ولكن معناه صحيح عند العلماء،
أن الخاتنة ينبغي عليها ألا تأخذ الجلدة بكاملها ولا تستأصلها؛ لأنه استئصال
للشهوة وذهاب لها، وكذلك أيضا لا تترك الجلدة, فشرع الله هذا لما فيه من اعتدال
الشهوة للمرأة. (شرح زاد المستقنع، الشنقيطي، مشروعية الختان, ج 1، ص 123).
Komentar
Posting Komentar
Harap berkomentar yang baik