ITSBAT
NIKAH DAN HAK-HAK ANAK
Deskripsi
Peluang dimohonkan “itsbat-nikah” seperti diatur dalam
KHI pasal 7 ayat (3)a adalah “adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian
perceraian”.jalan perkaranya dimulai dengan permohonan (perkara volunter) untuk
memperoleh surat penetapan itsbat-nikah. Langsung diajukan gugatan (perkara
contentiosa) agar diijinkan menjatuhkan cerai (thalaq) dengan alasan mengacu
pada pasal 19 PP No.9/1975.
Hal yang dirasakan sebagai musykilah itsbat-nikah
berlaku sejak tanggal ditetapkan (berarti status diakui perkawinan tidak
berlaku surut). Akibat hukum yang timbul adalah anak yang lahir dari perkawinan
hanya beroleh hubungan nasab dengan ibu yang melahirkannya (vide: pasal 100
& 186 KHI), hilang pula hak perwalian dari ayah atau kerabat ayah (vide:
pasal 21 KHI), kehilangan hak waris, hak hadhanah dan hak-hak lain.
Pertanyaan:
a. Tertutupkah
upaya hukum agar itsbat PA atas perkawinan di bawah tangan yang telah beroleh
legitimasi syar’i diperluas hingga status anak sah menurut
hukum positif terhadap anak-anak yang lahir melalui perkawinan di bawah tangan
? Bukankan fuqaha’ membuat litimasi bahwa ilhaq nasab kepada suami ibu cukup
dengan mengukur saat kelahiran minimal berjarak 6 (enam) bulan Qamariyah
ditambah “imkan al-wath’i”?
b. Apakah
tidak logis sekira hak memperoleh sebagian kekayaan ayah untuk anak yang lahir
sebelum ketetapan”itsbat-nikah” difasilitasi lewat lembaga “wasiat-wajibah”
versi pengaturan pasal 209 KHI, karena kedudukan hukum syar’i anak tersebut
jauh lebih legitimate dibanding anak angkat (adopsi)?
Jawaban a:
Itsbat nikah
bagi akad nikah yang sudah lampau terjadi pada prakteknya dapat berlaku surut
sebagaimana peraturan yang ada, penjelasan para ahli dan aturan syariat. Namun
jika ada hakim yang tidak menetapkan itsbat
nikah yang tidak berlaku surut maka hal itu bertentangan dengan syara’
(mungkar)
Jawaban b:
Mempertimbangkan
jawaban sub a, maka tidak diperlukan adanya washiyat wajibah, karena dia
adalah ahli waris.
Dasar Keputusan:
بغية المسترشدين ص 271
فائدة : حكم العرف والعادة حكم منكر
ومعارضة لأحكام اللـه ورسولـه ، وهو من بقايا الجاهلية في كفرهم بما جاء به نبينا
محمد عليه الصلاة والسلام بإبطالـه، فمن استحلـه من المسلمين مع العلم بتحريمه حكم
بكفره وارتداده، واستحق الخلود في النار نعوذ باللـه من ذلك اهـ فتاوى بامخرمة.
ومنها يجب أن تكون الأحكام كلـها بوجه الشرع الشريف، وأما أحكام السياسة فما هي
إلا ظنون وأوهام، فكم فيها من مأخوذ بغير جناية وذلك حرام، وأما أحكام العادة
والعرف فقد مرّ كفر مستحلـه، ولو كان في موضع من يعرف الشرع لم يجز لـه أن يحكم أو
يفتي بغير مقتضاه، فلو طلب أن يحضر عند حاكم يحكم بغير الشرع لم يجز لـه الحضور
هناك بل يأثم بحضوره اهـ
البقرة 132
يُوصِيكُمْ الله فِـي أوْلاَدِكُمْ
للذَّكَرِ مِثْلُ حَظّ أُلانْثَـيَـيْنِ
Komentar
Posting Komentar
Harap berkomentar yang baik