Assalamualaikum
Ustadz ada pertanyaan,
Kalau laki-laki ( A ) dan perempuan melakukan zina lalu hamil, dan dalam keadaan hamil perempuan ini menikah dengan laki-laki lain ( B ). Lalu setelah lahir anak ini bernasab kepada siapa? Syukron.
Wa'alaikumussalam, Wr. Wb.
------------------------
JAWABAN :
Wa’alaikumussalam, Wr. Wb.
Bismillahirrahmanirrahim,
Masalah nasab anak hasil perzinahan seperti catatan sebelumnya terdapat rincian sebagaimana berikut:
A. Apabila anak tersebut dilahirkan lebih dari enam bulan dari pernikahan (masa minimal mengandung) dan kurang dari empat tahun (masa maksimal mengandung) setelah akad nikahnya, maka disini ada dua hukum, yakni:
1) Apabila ada kemungkinan bahwa anak tersebut berasal dari suami yang menikahi perempuan /ibu dari anak tersebut, misalnya karena terjadi hubungan badan antara keduanya setelah akad nikah, maka anak tersebut tetap bernasab kepada suami. Maka disini berlaku hukum-hukum anak seperti hukum waris, perwalian nikah, dll. Disini sang suami diharamkan me-li’an istrinya atau meniadakan nasab anak tersebut darinya (tidak boleh tidak mengakui sebagai anaknya).
2) Apabila tidak ada kemungkinkan anak tersebut berasal dari suami sang Ibu / tidak ada kemungkinan hasil dari setelah pernikahan, misalnya karena belum pernah berhubungan badan semenjak akad nikah hingga melahirkan, maka hukum anak yang dilahirkan hanya bernasab kepada ibunya, dan wajib bagi suami untuk me-li’an dengan meniadakan nasab anak tersebut darinya (tidak mengakui sebagai anaknya). Hal ini untuk menjaga agar tidak terjadi hak waris kepada anak.
B. Apabila anak tersebut dilahirkan kurang dari enam bulan atau lebih dari empat tahun dari pernikahan, maka anak tersebut tidak bisa dinasabkan kepada suami.
Dan perlu diketahui bahwa hukum Menikahi wanita hamil diluar nikah adalah boleh dan sah. Hanya saja pernikahan yang dilakukan oleh perempuan tersebut apabila dilakukan dengan tujuan menutupi aib pelaku atau agar suaminya bisa menjadi ayah dari anak yang berada di dalam kandungan, maka hukum melakukannya adalah haram dan wajib bagi penguasa untuk membatalkan acara pernikahan itu.
Bagi yang menghalalkan acara itu dengan tujuan di atas, dihukumi murtad atau keluar dari agama Islam.
Disini terdapat penipuan nasab dengan berkedok agama sehingga mengakui bayi yang lahir sebagai anaknya padahal itu anak diluar nikah.
Demikian keterangan yang biasa kita jumpai dalam pembahasan masalah status anak hasil diluar pernikahan yang sah. Dan sebagai sikap tengah-tengah untuk permasalahan yang ditanyakan, berdasarkan berbagai keterangan para ulama maka kami menyimpulakan, bahwa :
Jika anak (janin) tersebut lahir pada saat ibunya belum dinikahi siapapun, maka anak itu bernasab kepada ibunya saja. Kecuali menurut pendapat dari ‘Urwah bin Zubair, Sulaiman bin Yassar, Al-Hasan, Ibnu Sirin, Nakha’i, dan Ishaq (yakni anak tersebut dinasabkan pada ayah biologisnya walaupun tidak terjadi pernikahan dengan ibu biologisnya).
Jika anak tersebut lahir setelah ibunya dinikahi baik oleh ayah biologisnya atau orang lain, di sini ada tafsil (rincian) :
a). Jika (janin) lahir lebih dari 6 bulan (dari akad nikah), maka nasab anak itu jatuh kepada suami ibunya, [dan dia (suaminya) wajib menafikannya (tidak mengakuinya sebagai anak) apabila yang menikahinya itu bukan lelaki yang berzina dengannya, menurut pandangan Sayyid Ba Alwi Al-Hadrami, kendati anak tersebut bernasab secara zhahir kepadanya].
Tetapi,
b). Jika lahir kurang dari 6 bulan (dari akad nikah), maka anak itu tidak bisa bernasab kepada suami ibunya, kecuali menurut imam Abu Hanifah; yakni anak tersebut tetap bernasab kepada suaminya (bila yang menikahinya yaitu ayah biologisnya) meskipun sehari sebelum kelahirannya.
CATATAN :
Apabila seorang perempuan bersuami berselingkuh, dan melakukan hubungan zina dengan lelaki selingkuhannya sampai hamil, maka status anaknya saat lahir adalah anak dari suaminya yang sah; bukan anak dari pria selingkuhannya. Bahkan, walaupun pria yang menzinahinya mengklaim bahwa itu anaknya. Sebagai anak dari laki-laki yang menjadi suami sah ibunya, maka anak berhak atas segala hak nasab (kekerabatan) dan hak waris termasuk wali nikah apabila anak tersebut perempuan. Ini adalah pendapat ijmak (kesepakatan) para ulama dari keempat madzhab sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Tamhid bahwa: “Ulama sepakat atas hal itu berdasarkan hadits Nabi; di mana Rasulullah telah menjadikan setiap anak yang lahir atas firasy [istri] bagi seorang laki-laki, maka dinasabkan pada suaminya dalam keadaan apapun, kecuali apabila suami yang sah tidak mengakui anak tersebut dengan cara li’an berdasar hukum li’an. Ulama juga sepakat bahwa wanita merdeka menjadi istri yang sah dengan akad serta mungkinnya hubungan intim dan hamil. Apabila dimungkinan dari suatu akad nikah itu terjadinya hubungan intim dan kehamilan, maka anak yang lahir adalah bagi suami [Shahibul Firasy]. Tidak bisa dinafikan darinya selamanya walaupun ada klaim dari pria lain, dan juga tidak dengan cara apapun, kecuali dengan li’an”.
Pandangan serupa juga dinyatakan oleh imam Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni bahwa: “Ulama sepakat bahwa apabila seorang anak lahir dari perempuan yang bersuami kemudian anak itu diakui oleh lelaki lain, maka pengakuan itu tidak diakui. Perbedaan ulama hanya pada kasus di mana seorang anak lahir dari perempuan yang tidak menikah”.
Wallahu A'lam Bish-shawab...
REFERENSI :
1. Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu, Juz IX, Hal. 6648 (Maktabah Syamilah Apk.)
2. Al-Hawi Al-Kabir, Juz VIII, Hal. 162 (Maktabah Syamilah Apk.)
3. Mughni Al-Muhtaj, Juz V, Hal. 61 (Maktabah Syamilah Apk.)
4. Al-Bayan Fi Madzhab Al-Imam Al-Syafi’i, Juz X, Hal. 418 (Maktabah Syamilah Apk.)
5. Bughyatu Al-Mustarsyidin, Hal. 386-387 (Daar Al-Fikr)
6. Bughyatu Al-Mustarsyidin, Hal. 408-409 (Daar Al-Fikr)
7. Al-Tamhid Limaa Fi Al-Muwaththa`, Juz VIII, Hal. 183 (Al-Marji’ Al-Akbar Apk.)
8. Al-Mughni ‘Ala Mukhtashar Al-Kharqi, Juz IX, Hal. 215 (Al-Marji’ Al-Akbar Apk.)
الفقه الإسلامي وأدلته ج ٩ ص ٦٦٤٨ المكتبة الشاملة
يحل بالاتفاق للزاني أن يتزوج بالزانية التي زنى بها، فإن جاءت بولد بعد مضي ستة أشهر من وقت العقد عليها، ثبت نسبه منه، وإن جاءت به لأقل من ستة أشهر من وقت العقد لا يثبت نسبه منه، إلا إذا قال: إن الولد منه، ولم يصرح بأنه من الزنا. إن هذا الإقرار بالولد يثبت به نسبه منه لاحتمال عقد سابق أو دخول بشبهة، حملاً لحال المسلم على الصلاح وستراً على الأعراض. أما زواج غير الزاني بالمزني بها، فقال قوم كالحسن البصري: إن الزنا يفسخ النكاح. وقال الجمهور: يجوز الزواج بالمزني بها. إهـ
الحاوي الكبير ج ٨ ص ١٦٢ المكتبة الشاملة
فَأَمَّا إِنْ كَانَتِ الزانية خلية وليست فراشا لأحد يلحقها ولدها فمذهب الشافعي أَنَّ الْوَلَدَ لَا يَلْحَقُ بِالزَّانِي، وَإِنِ ادَّعَاهُ وَقَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ: يَلْحَقُهُ الْوَلَدُ إِذَا ادَّعَاهُ بعد قيام البنية وبه قال ابن سيرين وإسحاق ابن رَاهَوَيْهِ وَقَالَ إِبْرَاهِيمُ النَّخَعِيُّ يَلْحَقُهُ الْوَلَدُ إِذَا ادعاه بعد الحد ويلحقه إذا ملك الموطوة وَإِنْ لَمْ يَدِّعِهِ وَقَالَ أبو حنيفة إِنْ تَزَوَّجَهَا قَبْلَ وَضْعِهَا وَلَوْ بِيَوْمٍ لَحِقَ بِهِ الْوَلَدُ، وَإِنْ لَمْ يَتَزَوَّجْهَا لَمْ يَلْحَقْ بِهِ. إهـ
مغني المحتاج إلى معرفة معاني ألفاظ المنهاج ج ٥ ص ٦١ المكتبة الشاملة
تَنْبِيهٌ: سَكَتَ الْمُصَنِّفُ عَنْ الْقَذْفِ وَقَالَ الْبَغَوِيّ: إنْ تَيَقَّنَ مَعَ ذَلِكَ زِنَاهَا قَذَفَهَا وَلَاعَنَ وَإِلَّا فَلَا يَجُوزُ؛ لِجَوَازِ كَوْنِ الْوَلَدِ مِنْ وَطْءِ شُبْهَةٍ، وَطَرِيقُهُ كَمَا قَالَ الزَّرْكَشِيُّ، أَنْ يَقُولَ: هَذَا الْوَلَدُ لَيْسَ مِنِّي وَإِنَّمَا هُوَ مِنْ غَيْرِي، وَأَطْلَقَ وُجُوبَ نَفْيِ الْوَلَدِ، وَمَحِلُّهُ إذَا كَانَ يَلْحَقُهُ ظَاهِرًا. إهـ
البيان في مذهب الإمام الشافعي ج ١٠ ص ٤١٨ المكتبة الشاملة
وإن تزوج امرأة، وأتت بولد لأقل من ستة أشهر من حين العقد.. انتفى عنه بغير لعان؛ لأن أقل مدة الحمل ستة أشهر بالإجماع، فيعلم أنها علقت به قبل حدوث الفراش. إهـ
بغية المسترشدين ص ٣٨٦-٣٨٧ دار الفكر
(مسألة ي ش) : نكح حاملاً من الزنا فولدت كاملاً كان له أربعة أحوال؛ إما منتف عن الزوج ظاهراً وباطناً من غير ملاعنة، وهو المولود لدون ستة أشهر من إمكان الاجتماع بعد العقد أو لأكثر من أربع سنين من آخر إمكان الاجتماع، وإما لاحق به وتثبت له الأحكام إرثاً وغيره ظاهراً، ويلزمه نفيه بأن ولدته لأكثر من الستة وأقل من الأربع السنين، وعلم الزوج أو غلب على ظنه أنه ليس منه بأن لم يطأ بعد العقد ولم تستدخل ماءه، أو ولدت لدون ستة أشهر من وطئه، أو لأكثر من أربع سنين منه، أو لأكثر من ستة أشهر بعد استبرائه لها بحيضة وثم قرينة بزناها، ويأثم حينئذ بترك النفي بل هو كبيرة، وورد أن تركه كفر، وإما لاحق به ظاهراً أيضاً ، لكن لا يلزمه نفيه إذا ظن أنه ليس منه بلا غلبة، بأن استبرأها بعد الوطء وولدت به لأكثر من ستة أشهر بعده، وثم ريبة بزناها، إذ الاستبراء أمارة ظاهرة على أنه ليس منه، لكن يندب تركه، لأن الحامل قد تحيض، وإما لاحق به ويحرم نفيه بل هو كبيرة، وورد أنه كفر، إن غلب على ظنه أنه منه، أو استوى الأمران بأن ولدته لستة أشهر فأكثر إلى أربع سنين من وطئه، ولم يستبرئها بعده أو استبرأها وولدت بعده بأقل من الستة، بل يلحقه بحكم الفراش، كما لو علم زناها واحتمل كون الحمل منه أو من الزنا، ولا عبرة بريبة يجدها من غير قرينة. فالحاصل أن المولود على فراش الزوج لاحق به مطلقاً إن أمكن كونه منه، ولا ينتفي عنه إلا باللعان والنفي، تارة يجب، وتارة يحرم، وتارة يجوز، ولا عبرة بإقرار المرأة بالزنا، وإن صدقها الزوج، وظهرت أماراته. إهـ
ﺑﻐﻴﺔ ﺍﻟﻤﺴﺘﺮﺷﺪﻳﻦ ﺹ ٤٠٨-٤٠٩ دار الفكر
( مسألة ) ﻣﻠﺨﺼﺔ ﻣﻊ ﺯﻳﺎﺩﺓ ﻣﻦ ﺍﻹﻛﺴﻴﺮ ﺍﻟﻌﺰﻳﺰ ﻟﻠﺸﺮﻳﻒ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﺃﺣﻤﺪ ﻋﻨﻘﺎﺀ ﻓﻲ ﺣﺪﻳﺚ ﺍﻟﻮﻟﺪ ﻟﻠﻔﺮﺍﺵ ﺍﻟﺦ، ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻧﺖ ﺍﻟﻤﺮﺃﺓ ﻓﺮﺍﺷﺎ ﻟﺰﻭﺟﻬﺎ ﺃﻭ ﺳﻴﺪﻫﺎ ﻓﺄﺗﺖ ﺑﻮﻟﺪ ﻣﻦ ﺍﻟﺰﻧﺎ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﻮﻟﺪ ﻣﻨﺴﻮﺑﺎ ﻟﺼﺎﺣﺐ ﺍﻟﻔﺮﺍﺵ، ﻻ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺰﺍﻧﻲ، ﻓﻼ ﻳﻠﺤﻘﻪ ﺍﻟﻮﻟﺪ ﻭﻻ ﻳﻨﺴﺐ ﺇﻟﻴﻪ ﻇﺎﻫﺮﺍ ﻭﻻ ﺑﺎﻃﻨﺎ ﻭﺇﻥ ﺍﺳﺘﻠﺤﻘﻪ، ﻭﻣﻦ ﻫﻨﺎ ﻳﻌﻠﻢ ﺷﺪﺓ ﻣﺎ ﺍﺷﺘﻬﺮ ﺃﻧﻪ ﺇﺫﺍ ﺯﻧﻰ ﺷﺨﺺ ﺑﺈﻣﺮﺃﺓ ﻭﺃﺣﺒﻠﻬﺎ ﺗﺰﻭﺟﻬﺎ ﻭﺍﺳﺘﻠﺤﻖ ﺍﻟﻮﻟﺪ، ﻓﻮﺭﺛﻪ ﻭﻭﺭﺛﻪ ﺯﺍﻋﻤﺎ ﺳﺘﺮﻫﺎ، ﻭﻫﺬﺍ ﻣﻦ ﺃﺷﺪ ﺍﻟﻤﻨﻜﺮﺍﺕ ﺍﻟﺸﻨﻴﻌﺔ ﺍﻟﺘﻲ ﻻ ﻳﺴﻊ ﺃﺣﺪﺍ ﺍﻟﺴﻜﻮﺕ ﻋﻨﻬﺎ، ﻓﺈﻧﻪ ﺧﺮﻕ ﻟﻠﺸﺮﻳﻌﺔ ﻭﻣﻨﺎﺑﺬﺓ ﻷﺣﻜﺎﻣﻬﺎ، ﻭﻣﻦ ﻟﻢ ﻳﺰﻟﻪ ﻣﻊ ﻗﺪﺭﺗﻪ ﺑﻨﻔﺴﻪ ﻭﻣﺎﻟﻪ ﻓﻬﻮ ﺷﻴﻄﺎﻥ ﻓﺎﺳﻖ ﻭﻣﺪﺍﻫﻦ ﻣﻨﺎﻓﻖ، ﻭﺃﻣﺎ ﻓﺎﻋﻠﻪ ﻓﻜﺎﺩ ﻳﺨﻠﻊ ﺭﺑﻘﺔ ﺍﻹﺳﻼﻡ، ﻷﻧﻪ ﻗﺪ ﺃﻋﻈﻢ ﺍﻟﻌﻨﺎﺩ ﻟﺴﻴﺪ ﺍﻷﻧﺎﻡ ﻣﻊ ﻣﺎ ﺗﺮﺗﺐ ﻋﻠﻰ ﻓﻌﻠﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﻨﻜﺮﺍﺕ، ﻭﺍﻟﻤﻔﺎﺳﺪ ﻣﻨﻬﺎ ﺣﺮﻣﺎﻥ ﺍﻟﻮﺭﺛﺔ ﻭﺗﻮﺭﻳﺚ ﻣﻦ ﻻ ﺷﻲﺀ ﻟﻪ ﻣﻊ ﺗﺨﻠﻴﺪ ﺫﻟﻚ ﻓﻲ ﺍﻟﺒﻄﻮﻥ ﺑﻌﺪﻩ، ﻭﻣﻨﻬﺎ ﺃﻧﻪ ﺻﻴﺮ ﻭﻟﺪ ﺍﻟﺰﻧﺎ ﺑﺎﺳﺘﻠﺤﺎﻗﻪ كإﺑﻨﻪ ﻓﻲ ﺩﺧﻮﻟﻪ ﻋﻠﻰ ﻣﺤﺎﺭﻡ ﺍﻟﺰﺍﻧﻲ، ﻭﻋﺪﻡ ﻧﻘﺾ ﺍﻟﻮﺿﻮﺀ ﺑﻤﺴﻬﻦ ﺃﺑﺪﺍ، ﻭﻣﻨﻬﺎ ﻭﻻﻳﺘﻪ ﻭﺗﺰﻭﻳﺠﻪ ﻧﺴﺎﺀ ﺍﻟﺰﺍﻧﻲ ﻛﺒﻨﺎﺗﻪ ﻭﺃﺧﻮﺗﻪ، ﻭﻣﻦ ﻟﻪ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﻭﻻﻳﺔ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﻣﺴﻮﻍ ﻓﻴﺼﻴﺮ ﻧﻜﺎﺣﺎ ﺑﻼ ﻭﻟﻲ، ﻓﻬﺬﻩ ﺃﻋﻈﻢ ﻭﺃﺷﻨﻊ، ﺇﺫ ﻳﺨﻠﺪ ﺫﻟﻚ ﻓﻴﻪ ﻭﻓﻲ ﺫﺭﻳﺘﻪ، ﻭﻳﻠﻪ ﻓﻤﺎ ﻛﻔﺎﻩ ﺃﻥ ﺍﺭﺗﻜﺐ ﺃﻓﺤﺶ ﺍﻟﻜﺒﺎﺋﺮ ﺣﻴﺚ ﺯﻧﻰ ﺣﺘﻰ ﺿﻢ ﺇﻟﻰ ﺫﻟﻚ ﻣﺎ ﻫﻮ ﺃﺷﺪ ﺣﺮﻣﺔ ﻣﻨﻪ ﻭﺃﻓﺤﺶ ﺷﻨﺎﻋﺔ، ﻭﺃﻱ ﺳﺘﺮ ﻭﻗﺪ ﺟﺎﺀ ﺷﻴﺌﺎ ﻓﺮﻳﺎ، ﻭﺃﺣﺮﻡ ﺍﻟﻮﺭﺛﺔ ﻭﺃﺑﻘﺎﻩ ﻋﻠﻰ ﻛﺮﻭﺭ ﺍﻟﻤﻠﻮﻳﻦ، ﻭﻛﻞ ﻣﻦ ﺍﺳﺘﺤﻞ ﻫﺬﺍ ﻓﻬﻮ ﻛﺎﻓﺮ ﻣﺮﺗﺪ ﺧﺎﺭﺝ ﻋﻦ ﺩﻳﻦ ﺍﻹﺳﻼﻡ، ﻓﻴﻘﺘﻞ ﻭﺗﺤﺮﻕ ﺟﻴﻔﺘﻪ ﺃﻭ ﺗﻠﻘﻰ ﻟﻠﻜﻼﺏ، ﻭﻫﻮ ﺻﺎﺋﺮ ﺇﻟﻰ ﻟﻌﻨﺔ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﻋﺬﺍﺑﻪ ﺍﻟﻜﺒﻴﺮ، ﻓﻴﺠﺐ ﻣﺆﻛﺪﺍ ﻋﻠﻰ ﻭﻻﺓ ﺍﻷﻣﻮﺭ ﺯﺟﺮﻫﻢ ﻋﻦ ﺫﻟﻚ، ﻭﺗﻨﻜﻴﻠﻬﻢ ﺃﺷﺪ ﺍﻟﺘﻨﻜﻴﻞ، ﻭﻋﻘﺎﺑﻬﻢ ﺑﻤﺎ ﻳﺮﻭﻋﻬﻢ، ﻭﻗﺪ ﻋﻠﻢ ﺑﺬﻟﻚ ﺷﺪﺓ ﺧﻄﺮ ﺍﻟﺰﻧﺎ، ﻭﺃﻧﻪ ﻣﻦ ﺃﻛﺒﺮ ﺍﻟﻜﺒﺎﺋﺮ. إهـ
التمهيد لما في الموطاء من المعاني والأسانيد ج 8 ص 183 المرجع الأكبر
وأجمعت الأمة على ذلك، نقلا عن نبيها وجعل رسول الله صلى الله عليه وسلّم كل ولد يولد على فراش لرجل لاحقا به على كل حال، إلى أن ينفيه بلعان. على حكم اللعان وقد ذكرناه في موضعه من كتابنا هذا واجمعت الجماعة من العلماء أن الحرة فراش، بالعقد عليها مع إمكان الوطء وإمكان الحمل، فإذا كان عقد النكاح يمكن معه الوطء والحمل فالولد لصاحب الفراش، لا ينتفي عنه أبدا بدعوى غيره ولا بوجه من الوجوه إلا باللعان. إهـ
المغني على مختصر الخرقي ج 9 ص 215 المرجع الأكبر
وأجمعوا على أنه إذا ولد على فراش رجل فادعاه آخر أنه لا يلحقه وإنما الخلاف فيما إذا ولد على غير فراش. إهـ
----------------------
MUSYAWWIRIN :
Member Group Majelis Ta’lim Tanah Merah (MTTM)
Komentar
Posting Komentar
Harap berkomentar yang baik