Tanya Jawab Hukum
HUKUM DAGING DIGILING TANPA DICUCI TERLEBIH DAHULU, SUCIKAH ❓
📒 DESKRIPSI
Badrun (nama samaran) merupakan salah seorang jagal sapi dan kambing disalah satu rumah pemotongan hewan. Pekerjaan tersebut dilakukan bersama 5 orang temanya. Pelanggan pun cukup banyak yang beli daging sapi atau daging kambing dirumah pemotongan hewan tersebut, mulai dari pedagang sate, bakso dll.
Kadang kita temui orang yang membakar daging untuk dijadikan sate dagingnya tanpa dicuci terlebih dahulu, langsung dibakar. Padahal si jagal atau tukang boleng waktu menyembelih dan atau memboleng daging, hampir pasti tangannya tekena atau belepotan darah dan atau kotoran sapi atau kambing yang dia sembelih dan diboleng. Begitu juga kadang ditemui sebagian pedagang bakso, kadang daging yang dibeli dari rumah pemotongan hewan, digiling tanpa dicuci terlebih dahulu.
📝 PERTANYAAN
Bagaimana hukum bikin pentol bakso dari daging yang baru dibeli dari Rumah pemotongan Hewan / Pasar langsung digiling agar halus dan dicampur dengan tepung beserta bahan lainnya kemudian dijadikan Pentol. Suci atau najisnya pentol yang diproses seperti itu ?
📖 JAWABAN
Perincian daging yang dibeli ada 2 :
a). Jika Daging yang dibeli tersebut tidak terdapat najis lain kecuali darah daging itu sendiri, maka darah tersebut najis yang dima'fu. dan apabila langsung digiling dan dicampur dengan bahan lain adalah proses yang dibolehkan / dibenarkan.
b). Jika Daging yang dibeli terdapat najis lain atau darah bukan dari darah daging itu sendiri, maka daging tersebut adalah Mutanajjis yang harus disucikan terlebih dahulu dan proses percampuran dengan bahan lain tidak dibenarkan dan bisa menyebabkan Mutanajjis.
Referensi :
{نهاية الزين ، جزء ١، صحفة ٤٠}
وأما الدم الباقي على اللحم وعظامه وعروقه من المذكاة فنجس معفو عنه وذلك إذا لم يختلط بشيء كما لو ذبحت شاة وقطع لحمها فبقي عليه أثر من الدم وإن تلون المرق بلونه بخلاف ما لو اختلط بغيره كالماء كما يفعل في البقر الذي تذبح في المحل المعد لذبحها من صب الماء عليها لإزالة الدم عنها فإن الباقي من الدم على اللحم بعد صب الماء عليه لا يعفى عنه وإن قل لاختلاطه بأجنبي ولو شك في الاختلاط وعدمه لم يضر لأن الأصل الطاهرة
Artinya : Sedang darah yang terdapat pada daging, tulang, urat dari hewan yang disembelih maka hukumnya najis yang dima’fu bila tidak tercampuri sesuatu, seperti bila seekor kambing disembelih, dagingnya dipotong-potong dan ternyata masih tersisa bekas darahnya meskipun air kuah masih berwarna merah karenanya. Berbeda saat ia tercampuri oleh perkara lainnya seperti air, misalkan seekor sapi yang disembelih ditempat yang telah dipersiapkan yang disirami air agar menghilangkan darahnya, maka bila masih tersisa darah pada daging setelah penyiraman air tersebut, darahnya tidak dima’fu (harus disucikan sebelum memasaknya) meskipun hanya sedikit karena telah bercampur dengan hal lain. Bila diragukan tercampur tidaknya dengan hal lain, maka tidak bahaya karena kaidah asalnya adalah suci.
{المجموع على شرح المهذب، جزء ٢، صحفة ٥٥٧}
قوله (فرع) مما تعم به البلوى الدم الباقي على اللحم وعظامه وقل من تعرض له من اصحابنا فقد ذكره أبو إسحق الثعلبي المفسر من اصحابنا ونقل عن جماعة كثيرة من التابعين انه لا بأس به ودليله المشقة في الاحتراز منه وصرح احمد واصحابه بان ما يبقى من الدم في اللحم معفو عنه ولو غلبت حمرة الدم في القدر لعسر الاحتراز منه وحكوه عن عائشة وعكرمة والثوري وابن عيينة وأبى يوسف واحمد واسحق وغيرهم واحتجت عائشة والمذكورون بقوله تعالي (الا أن يكون ميتة أو دما مسفوحا) قالوا فلم ينه عن كل دم بل عن المسفوح خاصة وهو السائل
Artinya : Cabang Permasalahan. Sebagian hal yang umum terjadi adalah darah yang tersisa pada daging dan tulang hewan. Sedikit sekali Ulama' yang menjelaskan tentang hal ini dari para Ashab. Permasalahan ini dijelaskan oleh Abu Ishaq Ats-Tsa’labi, pakar tafsir dari golongan Ashabus Syafi’i, dan dinukil dari segolongan Ulama' tabi’in bahwa darah tersebut tidak perlu dipermasalahkan. Adapun dalilnya adalah sulitnya menghindari darah ini.
Imam Ahmad dan para Ashab Ahmad menjelaskan bahwa darah yang menetap pada daging dihukumi ma’fu (dimaafkan), meskipun warna merah dari darah mendominasi pada cawan (untuk mewadahi daging). Ketentuan tersebut juga diceritakan dari Sayyidah A’isyah, ‘Ikrimah, Ats-Tsauri, Ibnu ‘Uyainah, Abu Yusuf, Imam Ahmad, Ishaq dan ulama-ulama yang lain. Sayyidah A’isyah RA dan para ulama tersebut mendalilkan ke-ma’fuan darah yang ada pada daging ini dengan ayat ‘Kecuali daging hewan yang mati (bangkai), darah yang mengalir’ para ulama berkata, ‘Allah tidak mencegah (mengonsumsi) semua jenis darah, tapi pada darah yang mengalir saja.
{إعانة الطالبين جزء ١، صحفة ٨٣}
٠( قوله حتى ما بقي على نحو عظم ) أي حتى الدم الباقي على نحو عظم فإنه نجس وقيل إنه طاهر وهو قضية كلام النووي في المجموع وجرى عليه السبكي
Artinya : (Hingga darah yang tersisa pada semacam tulang) artinya darah yang tersisa pada semacam tulang hewan yang disembelih dihukumi najis, namun dikatakan menurut pendapat ulama “sesungguhnya ia suci” dan inilah keputusan pernyataan an-Nawawy dalam kitab al-Majmu’ dan yang diterapkan oleh as-Subky.
٠{فتح المعين بشرح قرة العين بمهمات الدين ومعه تقريرات الأفاضل علماء الشافعية، صحفة ٢٣}
٠(قاعدة مهمة): وهي أن ما أصله الطهارة وغلب على
الظن تنجسه لغلبة النجاسة في مثله، فيه قولان معروفان بقولي الاصل والظاهر أو الغالب، أرجحهما أنه طاهر، عملا بالاصل المتيقن، لانه أضبط من الغالب المختلف بالاحوال والازمان
Artinya : Kaidah penting: Adapun setiap perkara yang memiliki hukum asal suci kemudian ada prasangka akan kenajisannya dikarenakan kebiasaan hukum najis pada hal serupa, maka memiliki dua pemilahan hukum yaitu hukum asal dan realita yang sering terjadi. Adapun yang paling unggul di antara keduanya adalah status suci dengan mempertimbangkan hukum asalnya. Karena hukum asal yang didasari keyakinan dianggap lebih kuat dari pada hukum realita yang masih tak menentu sesuai keadaan dan waktu”.
والله أعلم بالصواب
Komentar
Posting Komentar
Harap berkomentar yang baik