Langsung ke konten utama

Tata Cara Shalat Bagi Pengantin Saat Walimah Ursy

 *Tata Cara Shalat Bagi Pengantin Saat Walimah Ursy*


Maklum diketahui bahwa ketika seseorang mengadakan acara walimah, maka penganten, bahkan ibu penganten dan keluarga terdekat, merias wajah dengan make up yang cukup tebal. Acara walimah ini biasanya memakan waktu berjam-jam bahkan tak jarang belum selesai sampai waktu shalat tiba. Maka bagaimanakah tata cara thaharah dan shalat bagi wanita yang memakai riasan ini?


Solusi 1: Menghapus riasan wajah dan shalat sesuai waktunya


Perlu diketahui bahwa salah satu syarat sah wudhu adalah tidak terdapat hal yang menghalangi tersampainya air wudhu ke anggota badan yang wajib dibasuh, tentu penggunaan make up yang tebal sudah pasti menghalangi air wudhu. Maka bagi wanita yang memakai riasan pengantin tersebut tidak boleh berwudhu kecuali sudah menghapus bersih riasan yang ada di wajah, sehingga yakin jika air wudhu benar-benar mengenai anggota wudhu, tidak cukup hanya dengan mengalirkan air tanpa terlebih dahulu menghapus make up nya seperti yang dilakukan sebagian orang. Ditambah lagi, riasan make up tebal yang tidak dihapus terlebih dahulu bisa merubah air wudhu yang mengenainya, dimana seharusnya menggunakan air mutlaq. Air yang bercampur dengan riasan yang luntur bisa berubah menjadi air mutaghayyir sehingga tidah sah berwudhu dengan menggunakannya.(1)


Maka jika ingin memakai solusi pertama ini, tetap harus menghapus riasan dengan bersih, lalu berwudhu dengan sempurna dan shalat pada waktunya. Tentu hal ini perlu mengeluarkan biaya tambahan touch up make up lagi jika masih ingin melanjutkan acara dengan memakai riasan wajah.


Solusi 2: Tetap shalat dan berwudhu ala madzab Hanafi sebelum dirias


Bersentuhan dengan lawan jenis merupakan pembatal wudhu yang hampir pasti terjadi saat acara walimah, dimana penganten wanita bersalaman dengan suaminya sehingga wudhu menjadi batal. Maka jika menggunakan solusi ini, wanita yang memakai riasan tersebut bisa mengikuti pendapat madzab Hanafi dimana bersentuhan kulit dengan lawan jenis tidak membatalkan wudhu, menerapkan kaidahnya “barang siapa yang diuji dengan sesuatu (dalam keadaan darurat atau ada hajat) maka boleh mengikuti pendapat yang membolehkan”. 


Tata caranya sebelum memulai dirias si wanita berwudhu menurut wudhu madzab Hanafi, yang secara umum sama dengan wudhu madzab Syafii yang membedakannya adalah batasan mengusap kepala dimana menurut madzab Hanafi batasan minimal kepala yang wajib diusap ketika berwudhu adalah ¼ bagian dari kepala. (2)


Meski bisa menjadi jalan keluar, namun memilih solusi ini membutuhkan upaya lebih untuk menjaga wudhu, seperti agar tidak keluar angin atau buang air kecil dan besar sampai waktu shalat tiba.


Solusi 3: Jamak shalat tanpa qasar


Bisa dibilang solusi ini adalah solusi paling mudah, yaitu dengan menjamak ta’khir shalat dzuhur di waktu asar jika acara walimah pagi hari, atau menjamak ta’khir shalat magrib di waktu isya jika acara walimah dilaksanakan pada malam hari. 


Disebutkan dalam suatu hadis yang diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahihnya:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ  قَالَ جَمَعَ رَسُولُ الله  بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَبَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ مِنْ غَيْرِ خَوْفٍ وَلاَ مَطَرٍ.


Dari Ibn Abbas ra berkata: Rasulullah saw menjamak shalat dzuhur dengan asar, dan (menjamak) shalat magrib dengan isya di Madinah ketika bukan dalam keadaan takut dan bukan ketika hujan.


Ulama berbeda pendapat mengenai hadis ini, mayoritas ulama berpendapat tidak boleh menjamak shalat kecuali ketika sakit, turun hujan dan bagi musafir. Imam At-Tirmidzi berkata bahwa ulama sepakat untuk tidak mengamalkannya. Imam Nawawi mentakwil bahwa jamak yang dilakukan Rasulullah saw dalam riwayat tersebut dilakukan karena ada udzur lain seperti sakit atau udzur sejenisnya. (3 ) 


Namun ada sebagian ulama – seperti Ibn Sirrin, al-Qaffal, Abu Ishaq, Ibn Mundzir –  yang berpendapat bolehnya menjamak shalat tanpa qasar jika ada hajat atau kepentingan.(4) 


Solusi jamak shalat ketika ada hajat ini bisa diambil jika memenuhi 2 syarat:

1. Tidak dijadikan sebagai sebuah kebiasan sehari-hari. (5)

2. Tidak ada kemaksiatan di dalamnya, jika dalam acara walimah ada unsur kemaksiatan seperti membuka aurat, makanan dan minuman yang disajikan dalam walimah non halal, maka rukhshah ini tidak boleh diambil. (6)


Prof. Dr. Nuruddin mengisyaratkan dalam kitab beliau bahwa rukshah dalam melaksanakan shalat bagi penganten dengan mengambil pendapat yang tidak mewajibkan mengurai rambut saat mandi wajib bisa diikuti dalam kondisi ini, demi memberi kemudahan para pengantin dan agar tidak terjadi pemborosan biaya, daripada meninggalkan shalat wajib karena riasannya. (7)


Demikian juga dengan solusi-solusi di atas, meski bukan pendapat mayoritas ulama dan bukan pendapat muktamad tapi bisa diikuti dalam kondisi khusus ini, agar walimah ursy tetap terlaksana dengan tanpa meninggalkan shalat bagi pengantin dan keluarganya. Disebutkan dalam suatu kaidah: “Membenarkan perbuatan (adat/ kebiasaan) manusia lebih utama dari mengingkarinya, khususnya jika perbuatan tersebut sesuai dengan pendapat sebagian ahli fiqih, selama perbuatan tersebut tidak melanggar batasan syariat”. (8)


Wallahu Ta`ala A`lam


====

*Referensi*


(1 )  التقريرات السديدة في المسائل المفيدة 95." شروط الوضوء ... (منها) النقاء عما يمنع وصول الماء إلى البشرة بحيث لا يكون هناك جرم يمنع وصول الماء إلى البشرة ... (ومنها) أن لا يكون على العضو ما يغير الماء بحيث يسلب اسم الماء". 

( 2) الفقه الإسلامي وأدلته 1/ 372. "فقال الحنفية على المشهور المعتمد: الواجب مسح ربع الرأس مرة، بمقدار الناصية، فوق الأذنين لا على طرف ذؤابة (ضفيرة)، ولو بإصابة مطر أو بلل باق بعد غسل لم يؤخذ من عضو آخر".

(3 ) شرح النووي على مسلم 5/ 218. "وللعلماء فيها تأويلات ومذاهب وقد قال الترمذي في آخر كتابه ليس في كتابي حديث أجمعت الأمة على ترك العمل به إلا حديث بن عباس في الجمع بالمدينة من غير خوف ولا مطر وحديث قتل شارب الخمر في المرة الرابعة وهذا الذي قاله الترمذي في حديث شارب الخمر هو كما قاله فهو حديث منسوخ دل الإجماع على نسخه وأما حديث بن عباس فلم يجمعوا على ترك العمل به بل لهم أقوال منهم".

( 4) بغية المسترشدين 2/ 275 – 276. "لنا قول بجواز الجمع في السفر القصير اختاره البندنيجي ، وظاهر الحديث جوازه ولو في حضر كما في شرح مسلم ، وحكى الخطابي عن أبي إسحاق جوازه في الحضر للحاجة ، وإن لم يكن خوف ولا مطر ولا مرض ، وبه قال ابن المنذر اهـ قلائد. وعن الإمام مالك رواية أن وقت الظهر يمتد إلى غروب الشمس ، وقال أبو حنيفة: يبقى إلى أن يصير الظل مثلين ثم يدخل العصر ، ذكره الردّاد ، وكان سيدنا القطب عبد الله الحداد يأمر بعض بناته عند اشتغالها بنحو مجلس النساء بنية تأخير الظهر إلى وقت العصر".

شرح النووي على مسلم  5/ 219 "وذهب جماعة من الأئمة إلى جواز الجمع في الحضر للحاجة لمن لا يتخذه عادة وهو قول بن سيرين وأشهب من أصحاب مالك وحكاه الخطابي عن القفال والشاشي الكبير من أصحاب الشافعي عن أبي إسحاق المروزي عن جماعة من أصحاب الحديث واختاره بن المنذر ويؤيده ظاهر قول بن عباس أراد أن لا يحرج أمته فلم يعلله بمرض ولا غيره".


( 5) شرح النووي على مسلم  5/ 219 "وذهب جماعة من الأئمة إلى جواز الجمع في الحضر للحاجة لمن لا يتخذه عادة وهو قول بن سيرين وأشهب من أصحاب مالك وحكاه الخطابي عن القفال والشاشي الكبير من أصحاب الشافعي عن أبي إسحاق المروزي عن جماعة من أصحاب الحديث واختاره بن المنذر ويؤيده ظاهر قول بن عباس أراد أن لا يحرج أمته فلم يعلله بمرض ولا غيره".

(6 ) الأشباه والنظائرللسيوطي 1/140. «الرخص لا تناط بالمعاصي» أن فعل الرخصة متى توقف على وجود شيء، نظر في ذلك الشيء، فإن كان تعاطيه في نفسه حراما، امتنع معه فعل الرخصة، وإلا فلا.

( 7) إعلام الأنام شرح بلوغ المرام 1/ 280 – 281. استنبط كثير من المالكية من الحديث حكما آخر لرفع الحرج عن المرأة العروس، فقالوا شعر العروس إذا زينته أو وضعت عليه طيبا ونحوه من أنواع الزينة فإنها لا يجب عليها عسل رأسها في هذه الحالة، لما في ذلك من إتلاف المال، ويكتفى منها بغسل بدنها ومسح رأسها بيدها حيث لا يضره المسح. فهذه الرخصة أولى مما كثر وقوعه من تركهن صلاة الفجر أو صلوات بسبب زينة الزفاف. فتستأنف الحياة الزوجية بمعصية من كبائر الذنوب – عياذ بالله تعالى. فلتفد المرأة من هذه الرخصة ثم تعيد الصلاة أو الصلوات عند إكمال غسلها احتياطا.

( 8)  فتاوى وأحكام المرأة في الإسلام للشيخ شوقي العلام مفتى الديار المصرية ص 371."تصحيح أفعال الناس أولى من إبطالها، وبخاصة لو وافقت أقوال بعض الفقهاء، وما دام أنها لم تخرج عن دائرة الشريعة".

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERBEDAAN AMIL DAN PANITIA ZAKAT

 PERBEDAAN   AMIL DAN PANITIA ZAKAT 1- Amil adalah wakilnya mustahiq. Dan Panitia zakat adalah wakilnya Muzakki. 2- Zakat yang sudah diserahkan pada amil apabila hilang atau rusak (tidak lagi layak di konsumsi), kewajiban zakat atas muzakki gugur. Sementara zakat yang di serahkan pada panitia zakat apabila hilang atau rusak, maka belum menggugurkan kewajiban zakatnya muzakki. - (ﻭﻟﻮ) (ﺩﻓﻊ) اﻟﺰﻛﺎﺓ (ﺇﻟﻰ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﻛﻔﺖ اﻟﻨﻴﺔ ﻋﻨﺪﻩ) ﺃﻱ ﻋﻨﺪ اﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﻨﻮ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﻋﻨﺪ اﻟﺪﻓﻊ ﻟﻠﻤﺴﺘﺤﻘﻴﻦ * ﻷﻧﻪ ﻧﺎﺋﺒﻬﻢ ﻓﺎﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻛﺎﻟﺪﻓﻊ ﻟﻬﻢ ﺑﺪﻟﻴﻞ ﺃﻧﻬﺎ ﻟﻮ ﺗﻠﻔﺖ ﻋﻨﺪﻩ اﻟﺰﻛﺎﺓ ﻟﻢ ﻳﺠﺐ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﺎﻟﻚ ﺷﻲء ﻭاﻟﺴﺎﻋﻲ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﻛاﻟﺴﻠﻄﺎﻥ.* - {نهاية المحتاج جز ٣ ص ١٣٩} - (ﻭﻟﻮ ﺩﻓﻊ ﺇﻟﻰ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ) ﺃﻭ ﻧﺎﺋﺒﻪ ﻛﺎﻟﺴﺎﻋﻲ (ﻛﻔﺖ اﻟﻨﻴﺔ ﻋﻨﺪﻩ) ﺃﻱ ﻋﻨﺪ اﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﻨﻮ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﻋﻨﺪ اﻟﺼﺮﻑ؛ * ﻷﻧﻪ ﻧﺎﺋﺐ اﻟﻤﺴﺘﺤﻘﻴﻦ ﻓﺎﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻪ ﻛﺎﻟﺪﻓﻊ ﺇﻟﻴﻬﻢ ﻭﻟﻬﺬا ﺃﺟﺰﺃﺕ ﻭﺇﻥ ﺗﻠﻔﺖ ﻋﻨﺪﻩ ﺑﺨﻼﻑ اﻟﻮﻛﻴﻞ* ﻭاﻷﻓﻀﻞ ﻟﻹﻣﺎﻡ ﺃﻥ ﻳﻨﻮﻱ ﻋﻨﺪ اﻟﺘﻔﺮﻗﺔ ﺃﻳﻀﺎ.. - {تحفة المحتاج جز ٣ ص ٣٥٠} 3- Menyerahkan zakat pada amil hukumnya Afdhol (lebih utama) daripada di serahkan sendiri oleh muzakki pada m

DALIL TAHLILAN

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ Masyarakat muslim Indonesia adalah mayoritas penganut madzhab Imam Syafi’i atau biasa disebut sebagai Syafi’iyah (penganut Madzhab Syafi’i). Namun, sebagain lainnya ada yang tidak bermadzhab Syafi’i. Di Indonesia, Tahlilan banyak dilakukan oleh penganut Syafi’iyah walaupun yang lainnya pun ada juga yang melakukannya. Tentunya tahlilan bukan sekedar kegiatan yang tidak memiliki dasar dalam syariat Islam, bahkan kalau ditelusuri dan dikaji secara lebih mendalam secara satu persatu amalan-amalan yang ada dalam tahlilan maka tidak ada yang bertentangan dengan hukum Islam, sebaliknya semuanya merupakan amalah sunnah yang diamalkan secara bersama-sama. Oleh karena itu, ulama seperti walisongo dalam menyebarkan Islam sangatlah bijaksana dan lihai sehingga Islam hadir di Indonesia dengan tanpa anarkis dan frontal, salah satu buahnya sekaligus kelihaian dari para ulama walisongo adalah diperkenalkannya kegiatan tahlilan dengan sangat bijaksana.

MEMBERIKAN ZAKAT FITRAH KEPADA USTADZ

PENGERTIAN FII SABILILLAH MENURUT PERSPEKTIF EMPAT MADZHAB. Sabilillah ( jalan menuju Allah ) itu banyak sekali bentuk dan pengamalannya, yg kesemuanya itu kembali kepada semua bentuk kebaikan atau ketaatan. Syaikh Ibnu Hajar alhaitamie menyebutkan dalam kitab Tuhfatulmuhtaj jilid 7 hal. 187 وسبيل الله وضعاً الطريقة الموصلةُ اليه تعالى (تحفة المحتاج جزء ٧ ص ١٨٧) Sabilillah secara etimologi ialah jalan yang dapat menyampaikan kepada (Allah) SWT فمعنى سبيل الله الطريق الموصل إلى الله وهو يشمل كل طاعة لكن غلب إستعماله عرفا وشرعا فى الجهاد. اه‍ ( حاشية البيجوري ج ١ ص ٥٤٤)  Maka (asal) pengertian Sabilillah itu, adalah jalan yang dapat menyampaikan kepada Allah, dan ia mencakup setiap bentuk keta'atan, tetapi menurut pengertian 'uruf dan syara' lebih sering digunakan untuk makna jihad (berperang). Pengertian fie Sabilillah menurut makna Syar'ie ✒️ Madzhab Syafi'ie Al-imam An-nawawie menyebutkan didalam Kitab Al-majmu' Syarhulmuhaddzab : واحتج أصحابنا بأن المفهوم في ا