mungkin mirip dgn artikel sebelumnya disini
📜 *Definisi dzu Syaukah*
_‘‘Pengertian konsep *Dzu Syaukah* (orang berpengaruh) adalah patuh, taat, dan tunduk pada perintahnya meskipun orang itu tidak memiliki kelengkapan negara layaknya *sulthon,* seperti alusista militer, tentara serdadu, dan semacamnya yang membuat kedudukannya diperhitungkan. Sebagaimana kelengkapan negara ini lazim dimiliki oleh para pemimpin negara, pemimpin massa, serta pemuka *hauthoh* yang ditaati atas asas kepercayaan dan pengabdian.‘‘ *(Bughyah al-Mustarsyidin, hlm 527)*_
📜 *Definisi suap (risywah)*
✍️ *Definisi suap yang lebih sesuai dengan konsep (teori) yakni:*
_‘‘Menerima suap harom hukumnya. Suap adalah sesuatu yang diberikan kepada *qodhi* agar menetapkan hukum yang tidak benar, atau agar penyuap terbebas dari hukum yang benar. Memberi suap juga diharamkan sebab termasuk membantu terjadinya maksiat.‘‘ *(Nihayatuz Zain, hlm 370)*_
📖 *Sedang definisi suap yang lebih sesuai dengan konteks (realita) yakni:*
_‘‘ *Risywah* dengan harakat kasroh pada huruf ro' adalah sesuatu yang diberikan seseorang kepada hakim atau selainnya agar menetapkan hukum yang memihak penyuap, atau agar menuruti apa yang diinginkan penyuap.‘‘ *(al-Mishbah al-Munir, 1/228)*_
📜 *Perbedaan risywah dan hadiah*
📖 *Keterangan dalam Raudhoh:*
_‘‘ *Sub masalah:* Telah kami jelaskan bahwa suap harom secara mutlak sedang hadiah boleh dalam sebagian masalah. Dari sini perlu dikemukakan perbedaan esensial antara keduanya ketika pihak pemberi rela baik dalam menyuap ataupun memberi hadiah._
_*Perbedaannya ditinjau dari dua sisi:*_
1⃣ _*Pertama,* dikatakan oleh *Ibnu Kajj,* bahwa suap adalah pemberian yang disyaratkan dalam penerimaannya untuk menetapkan hukum yang tidak benar atau pemberi terbebas dari tuntutan hukum yang benar. Sedangkan hadiah adalah pemberian semata._
2⃣ _*Kedua,* dikatakan oleh *al-Ghozali* dalam *Ihya',* suatu harta-benda adakalanya diberikan untuk tujuan jangka panjang, yakni dalam rangka ibadah dan shodaqoh, dan adakalanya diberikan untuk tujuan jangka pendek. Yang jangka pendek ini orientasinya bisa berupa harta, maka dinamakan *Hibah* yang disertai persyaratan/pengharapan timbal-balik, serta bisa juga berupa jasa. Bila jasa itu berupa amaliyah harom atau *wajib 'ain* maka dikategorikan suap, bila *amaliyahnya mubah* maka disebut *ijaroh* atau *ju'alah.*_
_Adakalanya juga harta-benda diberikan untuk mendekati atau meraih simpati dari orang yang diberi. Bila hal itu sebatas kedekatan pribadi maka disebut *Hadiah.* Bila dimanfaatkan untuk meraih tujuan tertentu lewat kedudukan orang yang diberi maka disebut hadiah pada orang punya kedudukan lantaran ilmu atau nasabnya, serta disebut suap pada orang yang menyandang kedudukan hakim atau pejabat.‘‘ *(Raudhoh ath-Tholibin, 11/144)*_
📜 *Keterangan dalam Ittihaf, dikutip dari serangkaian analisa as-Subki dalam kitab karyanya Fashl al-Maqol fi Hidayah al-'Ummal yang membicarakan tentang:*
📖 *Konsep Dasar Istilah Hadiah dan Risywah*
_‘‘ *Taqiyyudin as-Subki berkata:*_
_‘‘Bila kau mempertanyakan bahwa pemberi hadiah, dengan hadiah yang diberikannya, meraih simpati dari orang yang diberi, sementara pemberi suap membujuk orang yang disuap agar menetapkan hukum yang menguntungkannya, *lantas kenapa kedua pemberian ini harus dibedakan istilahnya?*‘‘_
_*Aku jawab,* bahwa seorang pemberi hadiah tidak punya tujuan khusus selain untuk meraih simpati, sedang seorang penyuap punya, yakni pada pamrih atas kasus hukum itu. Penyuap tidak bertujuan meraih simpati orang yang diberi, malah kadang sebenarnya benci dan menghujatnya. Sehingga bisa diketahui bahwa dalam istilah hadiah ada unsur simpati sebagai karakter asal, dan ada unsur pamrih yang menjadi karakter bersama dalam hadiah dan suap meskipun dalam bentuk yang berbeda. Sedang dalam suap ada unsur pamrih sebagai karakter asal. Karena itu kita membuat istilah yang berbeda untuk keduanya, dan kita membedakan keduanya berdasarkan karakter asal masing-masing, serta mengabaikan implikasi dari karakter bersama (simpati dan pamrih) yang ditemui dalam konsep hadiah.‘‘ *(Ittihaf as-Sadat al-Muttaqin, 6/160)*_
📜 *Tinjauan Karakter Bersama Dalam Hadiah dan Risywah*
_‘‘ *Taqiyyudin as-Subki berkata:*_
_‘‘Pemberian hadiah tidak memiliki tujuan utama selain untuk meraih simpati, sedang suap ditujukan untuk mencapai ketetapan hukum tertentu dan tak peduli akan mendapat simpati ataupun tidak._
_*Jika kau membantah:* Logikanya yang namanya mencari simpati itu dikarenakan ada kepentingan (pamrih) tertentu, sedangkan murni mencari simpati tanpa ada kepentingan itu tidak logis._
_*Aku jawab:* Benar, hanya saja simpati dicari lantaran beberapa faktor. Di antaranya, bila faktor itu karena ada keperluan tertentu, kasus hukum misalnya, lalu kita tahu bahwa yang menjadi motif utama adalah keperluan itu dan simpati hanya menjadi batu loncatan bukan tujuan, dengan pertimbangan sekira keperluan itu bisa terkuak sendiri niscaya tidak akan peduli lagi dengan cara semula, maka yang seperti ini masuk dalam kategori suap._
_Bila faktor itu dikarenakan ada keperluan secara umum, yang adakalanya bersifat ukhrawi seperti menjalin ikatan persaudaraan, kasih sayang karena Alloh, ataupun pahala ukhrowi, serta yang semacamnya baik lantaran unsur alim ataupun shalihnya orang yang diberi, maka keperluan yang semacam itu dianjurkan oleh syari'at, dan pemberian hadiahnya juga dianjurkan._
_Bila keperluan itu bersifat duniawi, seperti dijadikan sarana memenuhi keperluan secara umum, di mana orang yang dibutuhkan simpatinya punya kedudukan tertentu dan kedudukannya itu:_
➡️ _Jika lantaran ilmu dan agama maka hukum pemberiannya diperbolehkan._
👉 _*Apakah boleh di sini dalam kerangka mubah atau makruh?*_
_Keterangan *al-Ghozali* dalam Ihya mengarah pada hukum yang kedua *(makruh).* Yang dikehendaki *al-Ghozali* dengan *makruh* adalah pada penerimaan hadiah itu, dan memang demikian, mengingat hadiah yang digunakan itu bisa dimungkinkan diberi lantaran sifat alim atau shalih pada dirinya (sementara dia belum tentu alim atau sholih). Sedangkan bagi orang yang memberi hadiah hukumnya tidak *Makruh.*_
➡️ _Jika lantaran perkara duniawi, dan bukan punya kedudukan karena punya semacam kekuasaan, melainkan karena banyak harta ataupun banyak relasi dengan para tokoh sehingga orang itu dianggap berguna, maka pemberian hadiah karena motif semacam ini *tidak makruh.* Menerima hadiahnya juga lebih sedikit *kadar makruhnya* dibanding situasi sebelumnya (kedudukan lantaran ilmu dan agama). Bahkan boleh jadi dibilang *tidak makruh* sebab dia tidak mempergunakan hadiah itu dengan dilatar belakangi ilmu atau agama, melainkan karena perkara duniawi semata serta tidak keluar dari definisi hadiah. Dari sini bisa dipahami bila dikatakan menerima hadiahnya itu tidak makruh.‘‘ *(Ittihaf as-Sadat al-Muttaqin, 6/160)*_
📜 *Illat Pamrih Yang Boleh dan Yang Dilarang Dalam Hadiah dan Risywah*
_‘‘Tercantum dalam kitab *Fashl al-Maqol* karangan *Taqiyyudin as-Subuki*:_
_*Jika kau bertanya: Lalu bagaimana pada orang yang bukan penguasa, ketika dia diberi hadiah sesuatu agar mau menyampaikan urusan yang sifatnya mubah di sisi sulthon?*
_*Aku jawab:* Jika keperluan itu memang bersifat *mubah* dan dia bukan berprofesi tetap sebagai penghubung urusan semacam itu, maka hal itu diperbolehkan bila kinerjanya pantas diberi upah semisal harus dilalui dengan banyak usaha, bila tidak demikian maka tidak diperbolehkan._
_Diperbolehkan karena hadiah itu diberlakukan sebagai *upah ijaroh* maupun *ju'alah.* Dan dilarang karena dalam syari'at tidak ditemui konsep timbal balik harta dengan bentuk semacam ini.‘‘ *(Ittihaf as-Sadat al-Muttaqin, 6/158)*_
📜 *Asas Prinsipil Hadiah dan Risywah*
_‘‘Di samping itu, mengingat muara pemberian hadiah adalah pada hal yang sudah dilegitimasi sebagai anjuran oleh syariat maka poin anjuran ini yang menjadi tolak ukur penamaan hadiah tanpa perlu melihat pada motif pemberiannya. Kemudian mengingat muara pemberian suap berkisar pada hal yang diharamkan syariat maka keharaman ini tidak menjadi standar penyebutan suap, melainkan tolak ukurnya perlu dilihat secara spesifik pada motif pemberian tersebut, sebab tujuan penyuap dan orang yang disuap selalu bermuara pada hal yang diharamkan. Jadi standar penyebutan istilah hadiah atau suap dilihat dari tujuan di dalamnya. Cermatilah.‘‘ *(Ittihaf as-Sadat al-Muttaqin, 6/160)*_
📜 *Status Suap Cukup Dengan Melihat Qorinah*
_‘‘Jika seseorang memberikan hadiah pada orang lain yang menolong dirinya dari orang zholim agar orang itu tidak mengurungkan pertolongannya, maka pemberian itu tidak boleh diterima. Bila bukan demikian maka boleh diterima, yakni meskipun orang itu menjadi pelaku tunggal yang diwajibkan menolong, berpegang pada qaul ashah yang menyatakan boleh mengambil imbalan atas amaliyah wajib 'ain yang butuh kerja keras. Hal ini berbeda dengan pendapat *al-Adzro'i* dan lainnya._
_*Umpama ada orang berkata:* ‘‘Ambillah dan belilah barang itu dengan uang ini,‘‘ maka menjadi wajib bagi yang diberi untuk memenuhi selama tidak ada kehendak keleluasaan tashorruf dari pemberi, atau tidak ada qorinah yang menunjukkannya, sebab qorinah dalam konsep hadiah bisa diberlakukan sebagai kepastian.‘‘ *(Tuhfatul Muhtaj, 26/205)*_
📜 *Syarat Suap yang Diperbolehkan*
_‘‘Bagi orang yang memberikan suap atau hadiah pada qadhi atau hakim, bila ternyata diberikan untuk menghukumi secara bathil, atau sebagai sarana meraih sesuatu yang bukan haknya, atau berakibat menyakiti seorang muslim, maka penyuap dan pemberi hadiah menjadi fasiq sebab pemberiannya, orang yang disuap dan orang yang diberi menjadi fasiq sebab mengambilnya, serta kurir penyuap menjadi fasiq sebab perbuatannya._
_Bila hukum di atas tidak terjadi, atau agar pemberi mendapatkan hukum yang benar, atau untuk menolak kezholiman, atau untuk mendapatkan haknya maka hukum fasiq hanya berlaku pada orang mengambil pemberian itu. Pemberi tidak dianggap berdosa karena dia terpaksa melakukan hal itu sebagai sarana memperoleh hal yang benar dengan segala upaya.‘‘ *(Is'adur Rofiq, hlm 100)*_
_‘‘Yang dimaksud dengan suap yang kita perbincangkan ini yaitu harta benda yang diberikan untuk menolak kebenaran atau mencapai hal yang bathil. Bila harta itu diberikan sebagai sarana mendapatkan hukum yang benar maka hukum harom hanya bagi yang mengambilnya. Sedangkan ketika orang itu belum memberikannya, ketika haknya tidak bisa dicapai selain dengan cara suap itu maka boleh memberikan harta tersebut, ketika masih bisa mendapatkan haknya dengan cara lain maka tidak diperbolehkan.‘‘ *(Fatawa as-Subki, 1/204)*_
📜 *Dalil berkaitan Politik Uang dalam Pemilihan Pemimpin*
📚 *Hadits Larangan Suap pada Pemilihan Pejabat*
_‘‘Dari *Abu Huroiroh* rodhiyallohu 'anhu berkata, ‘‘Rosululloh shollallohu 'alaihi wasallam bersabda: *‘‘Tiga orang yang tidak akan diajak berbicara oleh Alloh kelak pada hari kiamat, Alloh tidak mensucikan mereka dan mereka akan memperoleh siksa yang pedih:_
1⃣ _*Pertama,* orang yang memiliki air berlebih dalam perjalanan dan tidak mau memberikannya kepada musafir._
2⃣ _*Kedua,* laki-laki yang membai'at seorang pemimpin hanya karena faktor duniawi._
➡️ _Apabila pemimpin itu memberinya, ia akan memenuhi pembai'atannya, tetapi apabila tidak diberi, dia tidak akan memenuhinya._
3⃣ _*Dan ketiga,* orang yang menawarkan dagangannya kepada orang lain sesudah waktu ashar, lalu dia bersumpah bahwa barang dagangan itu telah ditawar sekian dan sekian oleh orang lain, lalu pembeli mempercayainya dan membelinya, padahal sebenarnya barang itu belum pernah ditawar.‘‘ *(HR. Bukhori, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Nasai, Baehaqi, Ibnu Jarir, dan Abdur Rozak, lafazh dari Bukhori)*_
📚 *Pengecualian pada Hadits:*
_‘‘ *(Jika kedudukan qodhi hanya mampu disandang orang tertentu)* ketika tidak banyak dijumpai orang sholih di daerah itu *(maka wajib baginya)* untuk menerima ketika imam melantiknya serta wajib baginya *(untuk menuntut jabatan itu)* ketika imam tidak menunjuknya, meski tuntutannya akan berujung pada penolakan, walau harus dicapai dengan memberikan banyak harta, meski nantinya harta itu harom diambil oleh orang lain. Hukum memberikannya mubah dan hukum mengambilnya harom.‘‘ *(Tausyikh 'ala Ibni Qosim, hlm 279)*_
✍️ *Kesimpulannya:*
1⃣ _Prinsip dasar perbedaan suap dan hadiah terletak pada harom dan tidaknya konsekuensi dari pemberian barang tersebut._
2⃣ _Suatu pemberian akan dikategorikan hadiah bila: untuk mendapat pahala, untuk meraih simpati, untuk mendapat imbalan materi *(hadiah bi tsawab),* untuk upah dari amaliyah yang patut diberi upah, atau tidak punya motif melainkan ikhlas lillahi ta'ala._
3⃣ _Suatu pemberian akan dikategorikan suap bila: untuk menetapkan hukum yang tidak benar, untuk lepas dari hukum yang benar, untuk perantara mencapai kepentingan yang harom, untuk upah dari amaliyah yang tidak pantas diberi upah yakni pada amaliyah yang tidak pantas dinilai materi (karena sudah menjadi kewajiban atau tidak ada banyak usaha atau kerja keras di dalamnya)._
4⃣ _Pemberian diketahui sebagai suap lewat bukti langsung atau dengan dugaan *(zhon)* qarinah yang mengarah ke suap._
5⃣ _Pemberian harta agar memilih kandidat yang bersangkutan termasuk suap sesuai dengan nash sharih hadits._
6⃣ _Suap karena dhorurot diperbolehkan bagi pemberi bila memenuhi sejumlah ketentuan: dalam rangka menegakkan hukum yang benar, yang bersangkutan adalah orang yang berhak, tidak menyakiti atau merugikan *Muslim* lain yang juga berhak, serta tidak ada jalan lain mencapai haknya selain dengan menyuap._
7⃣ _Dalam prosesi pemilihan pemimpin konsep suap karena dharurat juga bisa diberlakukan dengan tiga persyaratan utama: kandidat memang layak menjadi pemimpin, tidak ada figur kandidat lain yang layak, serta money politic di daerah tersebut sudah sangat parah sehingga bila tidak menyuap tidak akan menang._
8⃣ _Prosesi pemilihan yang dicampuri suap, meskipun suap darurat, tetap termasuk dalam khitab hadits yang melarang suap dalam pemilihan imam, sehingga amaliyahnya fasid, dan konsepsi pemerintahan berjalan secara *dzu syaukah.*_
⚖️ *MERUMUSKAN*
*a. Bagaimana hukum pemilihan trsebut?*
➡️ _Hukumnya bisa dianggap sah mengacu pada dhorurot kepemimpinan *dzu syaukah.* Bila memungkinkan untuk diulang maka wajib diulang._
*b. Bagaimana hukum bagi warga yang memilih karena mendapat uang trsebut?*
➡️ _Menerima uang itu berdosa karena tergolong suap. Sedangkan memilih lantaran mendapat uang itu juga berdosa lantaran sama dengan menjual hak suaranya dan amaliyahnya fasid._
_‘‘ *Imam Sa'd ad-Din at-Taftazani dalam Syarh al-Maqoshid berkata:*_
_‘‘Kepemimpinan dinilai sah dengan beberapa hal:_
1⃣ _*Pertama,* dengan baiat *ahlu hall wal 'aqd* yang terdiri dari para Ulama', para tokoh, dan sekelompok masyarakat...dst sampai.._
3⃣ _*Ketiga,* dengan pengambil alihan kekuasaan._
➡️ _Ketika pemimpin terdahulu telah wafat sementara muncul pemberontakan dari tokoh lain yang memenuhi syarat pemimpin tanpa melalui baiat atau pergantian kepemimpinan, serta memaksa masyarakat dengan pengaruhnya, maka kepemimpinannya bisa disahkan, begitu juga sah disertai berdosa menurut *qoul azhar* pada tokoh yang fasiq atau jahil._
➡️ _Wajib bagi kaum *Muslimin* untuk mentaati pemimpin macam ini karena dhorurot. Kekuasaan dengan paksaan kasusnya seperti memakan bangkai yang dilegalkan karena dhorurat, konteksnya sedikit lebih ringan dari situasi wilayah yang kacau serta lebih ringan dari situasi pemerintahan yang kejam._
➡️ _Konsekuensinya yaitu wajib menghilangkan kepemimpinan semacam ini ketika situasi memungkinkan. Bila suksesi berjalan mudah dan tidak berimbas pada banyak kerusakan dan fitnah maka harus dicopot. Namun bila ada kepastian menimbulkan banyak fitnah, perpecahan, dan mafsadah lain yang lebih besar dari mashlahahnya maka yang diwajibkan di sini adalah bersabar, sebab dhorurot memperbolehkan hal yang sebenarnya diharamkan.‘‘ *(Ta'liqot Tahdzib, 7/271-275)*_
_‘‘Prinsip asal dalam prosesi baiat imam adalah membaiat karena dia dinilai mampu bertindak secara benar, menegakkan hukum, dan menjalankan *amar ma'ruf nahi munkar.* Sehingga barang siapa yang membaiat karena harta yang diberikannya tanpa memperdulikan tujuan dalam prinsip asal maka dia sungguh merugi, masuk dalam ancaman hadits tersebut, serta akan celaka bila Alloh tidak mengampuninya. Hadits itu juga menunjukkan bahwa setiap amaliyah yang tidak bertujuan mencari ridho Alloh tetapi untuk mencari kesenangan dunia, maka amal itu dianggap fasid dan pelakunya berdosa. Hanya Alloh *Maha Pemberi Taufiq.*‘‘ *(Fathul Bari, 13/203)*_
_‘‘Yang dimaksud dengan baiat di sini adalah akad dan perjanjian baiat. Seakan-akan setiap orang dari pemilih dan yang dipilih membeli aset pihak lainnya dan mau memberikannya demi melancarkan diri sendiri, serta mematuhi dan mengikuti perintah pemberi.‘‘ *('Umdatul Qori, 12/199)*_ ```Semoga bermanfaat.```
*🌐 𝙶𝙴𝚁𝙰𝙺𝙰𝙽 𝙿𝙴𝙼𝚄𝙳𝙰-𝙿𝙴𝙼𝚄𝙳𝙸 𝑨𝑺𝑾𝑨𝑱𝑨 (𝙰𝙷𝙻𝚄𝚂𝚂𝚄𝙽𝙽𝙰𝙷 𝚆𝙰𝙻 𝙹𝙰𝙼𝙰'𝙰𝙷)*
❖ *واللـــہ اعـلم بالصـــوابــــــ* ❖
❖ *واللـــہ مستعان وعليـہ التكلانـــــ* ❖
*📡* 𝐁𝐘 𝐆𝐑𝐔𝐏 *:*
*📚* 𝐀𝐒𝐖𝐀𝐉𝐀 *📚 الله حي 📿*
*┈•••⊰• ⃟ ⃟ •⊰❂͜͡✯🌐✯͜͡❂⊱• ⃟ ⃟ •⊱•••┈*
*▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂▂*
Komentar
Posting Komentar
Harap berkomentar yang baik