Bolehkah Memanggil Non Muslim
Dengan Panggilan Kafir ?
Akhir-akhir ini publik ramai
merespon salah satu hasil keputusan musyawarah nasional organisasi islam
terbesar di Indonesia. Salah satu permasalahan penting yang dibahas dalam
momentum Munas tersebut yakni tentang "Status Non-Muslim dalam konteks
Negara-Bangsa (Nation State). Pada Munas tersebut merumuskan bahwa Non-Muslim
dalam Konteks Negara-Bangsa adalah berstatus Warga Negara (Muwathin) yang
memiliki hak dan kewajiban yang setara dengan warga negara yang lain. Mereka
tidak masuk dalam kategori jenis kafir yang biasa ditemukan dalam kitab fikih
klasik yakni Mu'ahad, musta'man, dzimmi, dan harbi.
Sehingga non-muslim di Indonesia
yang notabene merupakan salah satu wujud Negara-Bangsa, tidak dapat
dikategorikan sebagai satupun dari kafir Mu'ahad, Kafir Musta'man, Kafir
Dzimmi, terlebih sebagai Kafir Harbi. Sebab semua klasifikasi dari jenis kafir
diatas sama sekali tidak dapat dianalogikan pada Non-Muslim dalam konteks
Negara bangsa, alasan yang paling mendasar salah satunya tertuju pada aspek
bahwa non-muslim dalam konteks negara-bangsa bukanlah warga negara kelas dua,
berbeda halnya pada berbagai jenis kafir diatas.
Ironisnya, hal yang ramai
diperbincangkan justru bukan kesimpulan inti tentang persamaan dan kesetaraan
hak seperti yang dijelaskan diatas, tapi lebih mengarah pada salah satu dalil
dalam hasil rumusan tersebut bahwa "Orang muslim tidak boleh memanggil
Non-Muslim dengan kata kafir" hal ini misalnya seperti yg dikutip dalam
kitab ad-Durr al-Mukhtar Juz 4, Hal. 246 yg mengutip pandangan Syekh Najmuddin
dalam kitab al-Qunyah:
وفي
القنية: قال ليهودي أو مجوسي يا كافر يأثم إن شق عليه، ومقتضاه أنه يعزر لارتكابه
الاثم. بحر. وأقره المصنف لكن نظر فيه في النهر. قلت: ولعل وجهه ما مر في يا فاسق،
فتأمل.
"Dalam kitab al-Qun'yah
dijelaskan: "Jika seseorang berkata pada orang yahudi atau Majusi
"Wahai Kafir" maka dia berdosa jika panggilan tersebut
menyakitinya" Ketentuan tersebut menuntut adanya hukuman takzir bagi
pelaku, karena telah melakukan dosa. Pendapat ini dikutip dalam kitab al-Bahr
ar-Raiq dan di taqrir oleh Mushannif, tetapi dalam kitab an-Nahr beliau masih
mengkaji pandangan (Nadzar). Aku berkata “mungkin bentuk kajian tersebut adalah
pendapat yang telah di jelaskan dalam persoalan memanggil orang fasik dengan
sebutan “hai fasik”, maka angan-anganlah (hal tersebut)"'
Posisi Najmuddin Az-Zahidi
Sebagian ulama' maragukan kapabilitas Syekh Najmuddin Az-Zahidi pengarang kitab Al-Qunyah diatas, sebab merupakan penganut akidah Muktazilah tulen. Sehingga pendapatnya dianggap tidak dapat diterima sekaligus tidak dapat menjadi rujukan.
Sebagian ulama' maragukan kapabilitas Syekh Najmuddin Az-Zahidi pengarang kitab Al-Qunyah diatas, sebab merupakan penganut akidah Muktazilah tulen. Sehingga pendapatnya dianggap tidak dapat diterima sekaligus tidak dapat menjadi rujukan.
Dalam menanggapi tentang
Az-Zahidi ini, misalnya seperti yang dijelaskan dalam al-Jami’ as-Shagir Hal.
70 mengutip pandangan Ibnu Wahban:
قال
ابن وهبان وغيره : إنه لا عبرة بما يقوله الزاهدي مخالفا لغيره انتهى وقال أيضا في
موضع آخر منه : قد ذكر ابن وهبان وغيره بأنه لا عبرة لما يقوله الزاهدي إذا خالف
غيره انتهى
“Berkata Ibnu Wahban dan Ulama’
lainnya: “Pendapat yang dikemukakan az-Zahidi tidak dapat dijadikan
pertimbangan ketika bersebrangan dengan pandangan ulama’ lain”
Dalam menilai dapatkah pandangan az-Zahidi dijadikan sebagai acuan, tidak dapat dinilai hanya dari aspek bahwa beliau adalah penganut muktazilah saja, tapi tetap dalam batasan “Ketika pendapat beliau bersebrangan dengan pandangan ulama’ hanafiyah secara umum, maka tidak diterima”. Berarti dapat disimpulkan “selama pendapat beliau tidak bersebrangan dengan ulama’ mazhab hanafiyah secara umum, maka pendapat beliau dapat diterima”
Berdasarkan ketentuan diatas,
mari kita pahami secara mendalam, apakah dalam pembahasan ini, pendapat beliau
bersebrangan dengan pandangan ulama’ hanafiyah secara umum atau tidak?
Dalam menjelaskan maksud dalam kitab ad-Durr al-Mukhtar diatas, Imam Ibnu Abidin dalam Hasyiyah ar-Rad al-Mukhtar Menjelaskan:
قوله (
ولعل وجهه ما مر في يا فاسق ) أي من أنه الحق الشين بنفسه قبل قول القائل وأشار
بقوله فتأمل إلى ضعف هذا الوجه فإنه وإن كان ألحقه بنفسه لكنا التزمنا بعقد الذمة
معه أن لا تؤذيه اه ح
“bahwa dia telah melakukan hal
buruk (tidak beriman) pada dirinya, sebelum wujudnya ucapan orang yang menyebut
“Kafir” padanya. Mushannif menggunakan isyarah dengan kata “Fata’ammal” yang
berarti menunjukkan lemahnya arahan ini. Sebab sesungguhnya orang non-muslim,
meskipun telah melakukan hal buruk pada dirinya (seperti halnya orang fasik),
namun kita telah menyanggupi untuk tidak menyakitinya dengan adanya akad dzimmah”
Melihat referensi diatas,
pandangan Syekh Najmuddin ini justru di taqrir (ditetapkan) oleh para ulama'
Hanafiyah lain yang mu'tabar (diakui), yakni Imam Ibnu Abidin dalam kitab
ar-Rad al-Mukhtar diatas. Maka bisa dipahami bahwa kita sejatinya bukan hanya
mengikuti Syekh Najmuddin saja, tapi juga mengikuti pandangan Imam Ibnu Abidin
selaku pembesar Madzhab Hanafi. Bahkan dalam masalah ini, Imam Ibnu Abidin
tidak hanya mendukung pandangan az-Zahidi saja, tapi juga menganggap lemah
pandangan yang bersebrangan dengan az-Zahidi. Sehingga pendapat Syekh Najmuddin
az-Zahidi dalam konteks ini bukan hanya bisa diterima, tapi juga merupakan
pendapat yang kuat menurut imam Ibnu Abidin.
Sebab jika mengikuti pandangan
yang bersebrangan dengan az-Zahidi, maka permasalahan memanggil non-muslim
dengan sebutan kafir, sama persis dengan larangan menyebut orang yang fasik
dengan panggilan “hai fasik”. Padahal dalam kasus larangan memanggil orang
fasik dengan sebutan fasik, hukumnya tidak haram ketika seseorang telah mengetahui
bahwa orang yang ia panggil benar-benar merupakan orang yang bersifat fasik.
Hal ini seperti yang dijelaskan dalam referensi yang sama, kitab ad-Durr
al-Mukhtar:
الدر
المختار (4/ 67)
( فيعزر ) بشتم ولده وقذفه و ( بقذف مملوك )
ولو أم ولده ( وكذا بقذف كافر ) وكل من ليس بمحصن ( بزنا ) ويبلغ به غايته كما لو
أصاب من أجنبية محرما غير جماع أو أخذ السارق بعد جمعه للمتاع قبل إخراجه وفيما
عداها لا يبلغ غايته وبقذف أي بشتم ( مسلم ) ما ب ( يا فاسق إلا أن يكون معلوم
الفسق ) كمكاس مثلا أو علم القاضي بفسقه لأن الشين قد ألحقه هو بنفسه قبل قول
القائل
( فيعزر ) بشتم ولده وقذفه و ( بقذف مملوك )
ولو أم ولده ( وكذا بقذف كافر ) وكل من ليس بمحصن ( بزنا ) ويبلغ به غايته كما لو
أصاب من أجنبية محرما غير جماع أو أخذ السارق بعد جمعه للمتاع قبل إخراجه وفيما
عداها لا يبلغ غايته وبقذف أي بشتم ( مسلم ) ما ب ( يا فاسق إلا أن يكون معلوم
الفسق ) كمكاس مثلا أو علم القاضي بفسقه لأن الشين قد ألحقه هو بنفسه قبل قول
القائل
Maka ketika dua permasalahan ini
dianggap sebagai hal yang sama berarti ketika kita tahu bahwa orang yang kita
panggil dengan kata “hai kafir” adalah orang non-muslim, maka hukumnya tidak
haram dan tidak terkena hukuman takzir, seperti halnya dalam permasalahan
memanggil “hai fasik” pada orang yang diketahui kefasikannya. Namun penyamaan
dua kasus tersebut dipandang lemah oleh para ulama’ hanafiyah karena diantara
dua kasus tersebut meskipun terdapat landasan yang sama yaitu telah melakukan
hal buruk pada dirinya sendiri (الحق الشين بنفسه قبل قول القائل) namun dalam kasus non muslim terjadi
perbedaan berupa: “kita telah menyanggupi untuk tidak menyakiti non muslim” (لكنا
التزمنا بعقد الذمة معه أن لا تؤذيه اه), sehingga dua hal ini tidak dapat
dihukumi sebagai permasalahan yang sama.
Selain itu, jika kita memahami
referensi diatas secara utuh, maka kita dapat memahami bahwa esensi keharaman
menyebut kafir pada Non-Muslim lebih karena faktor penyebutan kafir pada mereka
adalah dianggap sebagai umpatan. Perhatikan teks sebelum referensi diatas:
(شتم مسلم ذميا عزر) لانه ارتكب معصية، وتقييد
مسائل الشتم بالمسلم اتفاقي. فتح.
وفي القنية: قال ليهودي أو مجوسي يا كافر يأثم إن شق عليه، ومقتضاه أنه يعزر لارتكابه الاثم.
وفي القنية: قال ليهودي أو مجوسي يا كافر يأثم إن شق عليه، ومقتضاه أنه يعزر لارتكابه الاثم.
"Umpatan muslim pada kafir
dzimmi menetapkan hukuman takzir, karena ia telah melakukan kemaksiatan"
Jika ketentuan tersebut kita
terapkan dalam konteks hubungan sosial dengan non-muslim, jelas ketika kita
memanggil mereka dengan sebutan "Hai Kafir" maka secara umum mereka
akan tersinggung dengan panggilan itu.
Sehingga dalil diatas hanya
terbatas pada persoalan larangan mengumpat non-muslim dengan menyebut mereka
dengan panggilan "kafir", Sangat salah jika hanya berdasarkan dalil
diatas, lalu langsung menyimpulkan bahwa non-muslim bukan lagi berstatus kafir,
kesimpulan tersebut jelas tidak benar.
Sehingga Rumusan Munas
sebenarnya hanya menyimpulkan bahwa sangat tidak baik sebutan kafir untuk
non-muslim disampaikan secara terbuka apalagi dihadapan orang-orang yang tidak
beragama islam, konteks rumusan diatas adalah dalam rangka menjaga kerukunan
dan persatuan antar warga negara, sama sekali tidak ada kaitannya dengan ranah
akidah.
Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa memanggil non-muslim dengan sebutan “kafir” merupakan
perbuatan yang haram dilakukan, sebab perkataan “kafir” sejatinya merupakan
umpatan yang akan menyakiti perasaan non-Muslim tersebut, sehingga tidak layak
untuk dilakukan, demi menjaga kerukunan dan persatuan bangsa. Wallahu a’lam.
-Azm-
Komentar
Posting Komentar
Harap berkomentar yang baik